PAWARTA BUDAYA
PERBATASAN JAWA-SUNDA
PERBATASAN JAWA-SUNDA
BUDAYA PERBATASAN JAWA-SUNDA
BAHASA JAWA LOSARI, SUNDA, DAN BREBES
Losari sebagai Daerah Perbatasan Jawa Sunda
Bahasa yang digunakan di kecamatan Losari sebagai daerah perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat ada tiga yaitu peraduan Bahasa Jawa Cirebon & Bahasa Jawa Tegal dan Bahasa Sunda Brebes .
Perpaduan Bahasa Jawa Cirebon, Jawa Tegal dan Sunda digunakan di Wilayah utara meliputi desa: Losari lor dan kidul, Prapag lor dan Kidul, Karangdempel, Kedungneng, Kalibuntu, Blubuk, Kecipir, Rungkang, Randusari, Limbangan, Pengabean, dan Pekauman.
Bahasa Sunda dan Brebes digunakan di Wilayah selatan meliputi desa : Babakan, Karangjunti, Dukuhsalam, Negla, Bojongsari, Karangsambung, Jatisawit, dan Randegan.
Pada masa lalu bahasa Cirebon sering disebut sebagai bahasa Jawa Cirebon atau bahasa Jawa dialek Cirebon di mana menurut Ayatrohaedi hal tersebut merupakan sebuah kesalahan dikarenakan dalam observasinya ketika dua orang Cirebon sedang berbicara, kawannya yang merupakan orang Jawa hanya terbengong karena tidak memahami apa yang sedang dikatakan.
Kata Ganti Orang Pertama (Utama Purusa)
· Sun (artinya Saya, jika ditambahkan awalan "re/ra" menjadi "resun" maka artinya "saya adalah orang yang terhormat")
· Isun (artinya Saya, jika kata isun bertemu dengan kata kerja maka "isun" berubah menjadi "tak' atau "tek")
· Ngwang (artinya Saya, jika ditambahkan kata "sang" menjadi "sangwang" maka maknanya menjadi lebih terhormat dari kata "ngwang")
· Pwanghulun (artinya Saya adalah seorang Hamba)
· Nghulun (artinya Saya adalah seorang Hamba, jika ditambahkan kata "Pinaka" menjadi "Pinaka nghulun" maka artinya "diperhamba" dan jika ditambahkan kata "sang" menjadi "sanghulun" maka maknanya menjadi terhormat daripada "nghulun")
· Pinun (artinya Saya adalah milik Tuan)
· Manehta (artinya Saya adalah hamba tuanku, khusus digunakan untuk perempuan)
· Bujangga Mpu (artinya Saya adalah orang yang terpelajar dan alim, biasa digunakan oleh kaum agamawan)
Kata Ganti Orang Kedua (Madyatama Purusa)
· Ko (artinya Anda)
· Twa / Ta (artinya Anda)
· Kamu (artinya Anda, bisa digunakan untuk menyatakan lebih dari satu orang)
· Kita (artinya Anda atau Tuan. Kata ini lebih terhormat dibandingkan "Ko","Twa/Ta","Kamu")
· Ngcarira (artinya Anda (secara umum), kata ini lebih terhormat dibandingkan "Ko","Twa/Ta","Kamu")
· Sira (artinya Anda, namun penggunaan kata ini ditujukan pada Sultan untuk Bawahan atau Pejabat untuk Bawahan yang makna tingkatannya lebih rendah)
· Kanyu (artinya Anda, kata ini setara dengan "Ko")
· Rahadyan Sanghulun (artinya anda adalah tuanku, dipergunakan oleh Pekerja kepada Majikannya)
Kata Ganti Orang Ketiga (Pratama Purusa)
· Ya (artinya Dia)
· Sira (artinya Dia, jika ditambahkan kata "hana" menjadi "hana sira" yang artinya "ada seseorang")
· Rasiki (artinya Dia)
Kata Ganti Milik (Empunya)
Kata Ganti Milik Orang Pertama
· Ku atau Ngku (artinya milik -ku)
· Mami (artinya milik -kami)
· i ngwang (artinya milik -ngwang)
· i nghulun (artinya milik -nghulun)
· i sanghulun (artinya milik -sanghulun)
· Pinaka hulun (artinya milik -pinaka hulun)
· Bujangga Mpu (artinya milik -bujangga mpu)→
Kata Ganti Milik Orang Kedua
· Mu (artinya milik -kamu)
· Nta / Ta (artinya milik -kita)
· Nyu (artinya milik -kanyu)
· Rahadian Sanghulun (artinya milik -rahadian sanghulun)
Kata Ganti Milik Orang Ketiga
· Nya (artinya milik -ya)
· Nira / ira (artinya milik -sira)
· Rasika (artinya milik -rasiki)
Perbandingan bahasa Cirebon
Berikut merupakan perbandingan antara bahasa Jawa Cirebon dengan Dialek lainnya yang dianggap serumpun, yaitu bahasa Jawa Banten, Bahasa Jawa dialek Dermayon, dialek Tegal dan Pemalangan serta Bahasa Jawa Baku (dialek Surakarta - Yogyakarta) dalam level Bagongan atau Bahasa Rakyat.
Suku Cirebon adalah kelompok etnis keturunan Jawa cirebonan (rumpun jawa banyumasan) yang tersebar di sekitar wilayah Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Menggunakan istilah Wong sebagai penanda keturunan jawa. Suku Cirebon juga dapat ditemui di sebagian Kabupaten Majalengka, sebagian Kabupaten Subang mulai dari Blanakan, Pamanukan, hingga Pusakanagara dan sebagian Pesisir utara Kabupaten Karawang mulai dari Pesisir Pedes hingga Pesisir Cilamaya dan di sekitar Kec. Losari di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Bahasa Sunda Perbatasan
Penutur bahasa Sunda di Kabupaten Brebes selalu menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar sehari-hari, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat setempat. Di dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual beli di pasar, ceramah agama di masjid, dan upacara adat (pernikahan, khitanan, syukuran, sedekah bumi), bahasa Sunda selalu digunakan sebagai bahasa pengantar. Meskipun begitu, bahasa Sunda di Kabupaten Brebes hanya digunakan dalam ragam lisan, bukan dalam ragam tulis dan sampai saat ini bahasa tersebut masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya.
Kebiasaan yang menarik yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kecamatan Losari, Banjarharjo, dan beberapa kecamatan di daerah Brebes selatan adalah adanya kecenderungan masyarakat dalam melakukan hampir seluruh aktivitasnya, seperti bersekolah, berobat, berbelanja, atau keperluan lain lebih cenderung melakukannya ke Kecamatan Ciledug, yakni kecamatan yang ada di sebelah timur Kabupaten Cirebon daripada ke kota Brebes itu sendiri. Hal ini disebabkan karena lebih mudahnya mendapatkan sarana transportasi ke arah Ciledug daripada ke Brebes juga dipengaruhi oleh faktor masyarakat yang sebahasa yang menjadikan mudahnya berkomunikasi dan ikatan satu bahasa.
Karakteristik Sub-dialek Sunda Brebes[sunting]
Perbedaan bahasa Sunda Brebes dengan bahasa Sunda standar tampak menonjol pada intonasi dan beberapa kosakata, sedangkan dalam tataran frasa dan kalimat tidak terjadi perbedaan. Dalam tataran frasa , misalnya adalah :
· mah bapa = rumah ayah
· peti suluh = peti kayu
· budak bandel = anak nakal
· hayang hees = ingin tidur
· ngakan kejo = makan nasi
· gede kacida = besar sekali
· jenuk budak = banyak anak.
Kalimat bahasa Sunda Brebes contohnya adalah :
· Misah lulus ujian nyaneh kudu di ajar = agar lulus ujian kamu harus belajar
· Iraha nyaneh mangkat = kapan kamu pergi
· Naha nyaneh telat = mengapa ia terlambat?
· Mih, balik ti pasar = ibu pulang dari pasar
· Kakak geus indit=kakak sudah pergi
Yang menarik adalah sebagian kosakata bahasa Sunda standar yang termasuk kosakata netral (tidak kasar dan juga tidak halus) di dalam bahasa Sunda Brebes selalu diaggap lebih halus. Misalnya, frasa;
· Hayang sare = ingin tidur
· dahar sangu = makan nasi
Di dalam bahasa Sunda Standar dianggap halus, padahal di dalam bahasa Sunda Brebes kedua frasa itu tidak bermakna halus. Frasa yang bermakna ingin tidur dan makan nasi di dalam bahasa Sunda Brebes adalah hayang hees dan ngakan kejo.
Bahasa Losari Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosakata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa Mataraman di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 24 persen,untuk bahasa cirebon dan Bahasa Jawa ngapak memiliki kemiripan 90 %, sementara perbedaannya dengan dialek Jawa arekan di Jawa Timur mencapai 25 persen. Untuk persamaan dengan Jawa Tengah & Yogyakarta sebanyak 76% sedangkan persamaan dengan Jawa Timur sebanyak 75%. Untuk diakui sebagai dialek bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), tetapi sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.
Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
Artinya, ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda dari suku Jawa pada umumnya juga dengan suku lain.
Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa Ngapak dan sebagian kosakata Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami banyak kosakata pada bahasa Jawa Ngapak umumnya, dia mengatakan kosakata bahasa Jawa dialek Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosakata dari bahasa Jawa pada umumnya apalagi Sunda.
BASA NGOKO, KRAMA LUGU, LAN KRAMA ALUS
Unggah-Ungguh Basa Jawa (Bahasa Ngoko, Bahasa Madya, dan Bahasa Krama)
Unggah-Ungguh Basa Jawa yaitu aturan adat masyarakat Jawa perihal sopan santun, tatakrama, tatasusila menggunakan Bahasa Jawa. Macam-macam Bahasa Jawa menurut aturan penggunaannya dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu;
Bahasa Ngoko, dibagi menjadi 2 jenis bahasa, yaitu Ngoko Lugu dan Ngoko Andhap (yang dibagi ke dalam 2 jenis bahasa, yaitu Antya Basa dan Basa Antya).
Bahasa Madya, dibagi menjadi 3 jenis bahasa, yaitu Madya Ngoko, Madya Krama, dan Madyantara.
Bahasa Krama, dibagi menjadi 5 jenis bahasa, yaitu Mudha Krama, Kramantara, Wredha Krama, Krama Inggil, dan Krama Desa.
Bahasa Kedaton
Bahasa Kasar
Penjelasan mengenai unggah-ungguh basa Jawa lengkap beserta contoh kalimat unggah-ungguh basa Jawa akan kami ulas pada pembahasan berikut ini.
A. Bahasa Jawa Ngoko
Bahasa Jawa Ngoko yaitu jenis bahasa jawa yang digunakan untuk berbicara dengan masyarakat umum/ masyarakat biasa.
Bahasa Jawa ngoko dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: ngoko lugu dan ngoko andhap.
1. Ngoko Lugu
Bahasa ngoko lugu fungsinya untuk berbicara atau dialog antara orang tua dengan anak cucunya, masyarakat umum pada umumnya atau seorang anak dengan temannya. Bangsawan dengan pelayannya, berbicara sendiri.
a. Orang tua dengan anak/ cucunya
Contoh:
Orang tua dengan anak/ cucunya
Bapak = Le, kapan anggonmu teka?(Ngoko lugu)
Anak = Pengestunipun Bapak, wilujeng. Kala wau enjang jam 10 anggen kulo dumugi ing ngriki.(Ngoko lugu)
b. Sesama masyarakat biasa atau anak dengan temannya
Contoh:
A = Mas Agus, aku mbok ya kokwuruki garapan nulis Jawa ndhek wingi kae. Yen ora, mengko rak aku sida didukani Pak Guru. Dhasar aku ndhek wingi ora mlebu, ora pamit pisan.(Ngoko lugu)
B = Lho, ya gene ta, kok ora mlebu barang ki? Enya iki, turunen bae, mumpung isih esuk mengko mundhak selak mlebu.(Ngoko lugu)
c. Pejabat/ petinggi dengan bawahannya
Contoh:
A = Mbok Minah, mengko kowe gawea slametan tumpeng kaya adate nyetauni putumu si thole.(Ngoko lugu)
B = Menika rak dede dinten Rebo Pahing tingalanipun putra sampeyan Ndara Den Bagus ta, Ndara?(Ngoko lugu)
d. Orang yang berbicara sendiri
Contoh:
E, tak turu sedhela, awakku kok kesel, ora kira-kira.(Ngoko lugu)
2. Ngoko Andhap (Ngoko Halus)
Ngoko andhap atau ngoko halus dibedakan menjadi dua macam, yaitu: antya-basa dan basa-antya.
a. Antya-basa, merupakan bahasa yang digunakan dalam berbicara antara orang tua dengan anak muda yang lebih tinggi pangkatnya atau satu orang dengan orang lain yang sudah erat sekali pertemanannya. Kata "kowe" menjadi "sliramu". Berwujud perpaduan bahasa ngoko dan krama inggil, tidak mengkramakan ater-ater dan panambang.
Contoh:
Ngoko lugu = Kowe apa ora lunga menyang kantor?
Antya-basa = Sliramu apa ora tindak menyang kantor?
b. Basa-antya, yaitu bahasa yang digunakan untuk berbicara antara orang tua dengan anak muda yang lebih tinggi pangkatnya. Kata "kowe" menjadi "panjenengan". Berwujud perpaduan bahasaa ngoko, krama dan krama inggil, tidak mengkramakan ater-ater dan panambang.
Contoh:
Ngoko lugu = Yen kowe wis duwe wektu, mbok ya menehi layang.
Basa-antya = Yen panjenengan wis kagungan wekdal, mbok ya maringi, serat.
Keterangan:
Kata-kata yang tidak dikramakan seperti:
1) kata ganti = iki, iku, apa, sapa, endi, pira, kapan, kepriye, yagene;
2) kata sebab = marang, menyang, saka, nganti, utawa, yen;
3) kata-kata keterangan: saiki, mengko, mau, dhek, seprana, seprene, semono, mangkene, mengkono, isih, wis, durung, arep, lagi, maneh.
B. Bahasa Jawa Madya
Bahasa madya yaitu salah satu unggah-ungguh bahasa Jawa antara bahasa ngoko dan bahasa krama. Bahasa madya berwujud kata madya yang masih bercampur dengan bahasa ngoko atau bahasa krama. Bahasa madya ngoko biasanya digunakan untuk berbicara oleh orang-orang desa di Jawa pada umumnya.
Bahasa madya dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu madya ngoko, madya krama dan madyantara.
1. Bahasa Madya Ngoko
Bahasa madya ngoko yaitu bahasa yang digunakan untuk percakapan antara pedagang dengan sesama pedagang. Kata "aku" menjadi "kula", kata "kowe" menjadi "dika". Berwujud bahasa madya dan ngoko, ater-ater, dan panambang tetap ngoko.
Contoh bahasa Madya Ngoko:
Ngoko lugu = Kowe kok sajak kesusu ngajak mulih aku, ana perlune apa, ta?
Madya ngoko = Dika kok sajak kesusu ngajak mulih kula, onten perlune napa ta?
2. Bahasa Madya Krama
Bahasa madya krama yaitu bahasa percakapan antara istri pejabat dengan suaminya. Berwujud bahasa madya, krama dan krama inggil. Tetapi tidak mengkramakan ater-ater dan panambang.
Contoh bahasa Madya Krama:
Ngoko lugu = Pakne, wayah ngene kok wis arep menyang kantor, apa akeh gawean?
Madya krama = Pakne, wanci ngeten kok empun ajeng tindak tang kantor, napa kathah padamelan?
3. Bahasa Madyantara
Bahasa madyantara yaitu bahasa percakapan antara orang biasa dengan orang biasa, atau petinggi dengan saudara yang lebih rendah pangkatnya. Kata “kowe" menjadi "mang", "samang", atau "sampeyan".
Contoh bahasa Madyantara:
Ngoko Lugu = Kowe rak wis duwe tumbak sing luwih apik, ta?
Madyantara = Sampeyan rak empun duwe tumbak sing luwih apik ta?
C. Bahasa Jawa Krama
Bahasa krama dibedakan menjadi lima golongan, yaitu mudha krama, kramantara, wredha krama, krama inggil, dan krama desa.
1. Bahasa Mudha Krama
Bahasa mudha krama yaitu bahasanya anak muda dengan orang tua, bahasa murid dengan gurunya, bahasa pejabat dengan pejabat. Kata "aku" menjadi "kula", kata "kowe" menjadi "panjenengan". Berwujud bahasa krama dan krama inggil, mengkramakan ater-ater dan panambang.
Contoh bahasa Mudha Krama:
Ngoko andhap = Menawa panjenengane ibu marengake, aku arep ndherek.
Mudha krama = Menawi panjenenganipun ibu marengaken, kula badhe dherek.
Keterangan:
a. Ater-ater = dak diganti kula, ko diganti dipun
b. Panambang = ku diganti kula, mu diganti panjenengan atau sampeyan, e diganti dipun, ake diganti aken
2. Bahasa Kamantara/ Krama Lugu
Bahasa kramantara atau krama lugu yaitu bahasa percakapan antara orang tua dengan orang yang lebih muda, merasa menang status sosial atau pangkat yang lebih tinggi. Kata "aku", menjadi "kula", kata "kowe", menjadi "sampeyan".
Contoh bahasa Kramantara:
Ngoko lugu = Dhek wingi kowe rak wis dak ngerteni, awit aku ora bisa teka sadurunge jam sepuluh.
Kramantara = Kala wingi sampeyan rak sampun kula criyosi, bilih kula boten saged dhateng saderengipun jam sedasa.
Keterangan:
a) Ater-ater = dak diganti kula, koe diganti sampeyan, di diganti dipun
b) Panambang = ku diganti kula, mu diganti sampeyan, e diganti ipun, ake diganti aken
3. Bahasa Wredha Krama
Bahasa wredha krama yaitu bahasa percakapan orang tua dengan orang yang lebih muda. Kata "aku" menjadi "kula", kata "kowe" menjadi "sampeyan". Bahasa wredha krama berwujud kata-kata krama, tetapi ater-ater dan panambang tidak dikramakan.
Contoh bahasa Wredha Krama:
Ngoko lugu = Kowe mangkono wis ora kekurangan apa-apa, bebasan kari mangan karo turu.
Wredha krama = Sampeyan mekaten sampun boten kekirangan punapa-punapa, bebasane kantun nedha kaliyan tilem.
4. Bahasa Krama Inggil
Bahasa krama inggil yaitu bahasa percapakan antara orang tua dengan kaum ningrat, atau orang biasa dengan pejabat/ petinggi, anak muda dengan orang tua. Kata "kula" menjadi "adalem", "abdi-dalem", "kawula", kata "panjenengan" menjadi "panjenengan-dalem". Bahasa krama inggil berwujud bahasa krama semua, seperti bahasa mudha krama.
Contoh bahasa Krama Inggil:
Mudha krama = Sowan kula ing ngarsa panjenengan, perlu nyadhong dhawuh panjenengan.
Krama inggil = Sowan adalem ing ngarsa panjenengan-dalem perlu nyadhong dhawuh panjenengan-dalem.
5. Bahasa Krama Desa
Bahasa krama desa yaitu bahasa percakapan antara orang-orang desa yang biasanya orang-orang tersebut masih butasastra. Kata-kata yang digunakan dalam bahasa krama desa, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ini:
Kata krama atau krama-inggil dikramakan lagi, seperti: nama menjadi nami; sepuh menjadi sepah; tebih menjadi tebah, waja menjadi waos, dst.
Menggunakan kata-kata krama-inggil terhadap dirinya sendiri seperti: asta kula, kula paringi, kula dhahar, dst.
Menggunakan kata-kata kawi, seperti: yoga sampeyan; nem santun; turangga sampeyan, dst.
Sesuai dengan keadaan, seperti: ambetan-duren, pethakan-mori, singetan-pete, samberan-pitik, dst.
Sudah mempunyai arti sendiri, seperti: dhekemen-dhele, watesan-semangka, boga-agung, dst.
Contoh bahasa Krama Desa:
Ngoko lugu (NL) = Lo, kowe Tin, apa padha slamet?
Krama desa (KD) = Pangestu sampeyan, inggih wilujeng, sowan kula ngaturaken kagungan sampeyan pantun gagi sapunika sampun sepah.
NL = Sokur ta, jagung lan kedhele apa during tuwa?
KD = Boganipun dereng, dekemanipun kados sepeken engkas sampun sepah.
NL = Paestrenmu koktanduri apa?
KD = Kula dhawahi walesan, nanging boten cekap, amargi kebenan pejah sedaya.
Keterangan:
1) Kata = aku diganti kula, kowe diganti sampeyan
2) Ater-ater = dak diganti kula, ko diganti sampeyan, di diganti dipun
3) Panambang = ku diganti kula, mu diganti sampeyan, e diganti ipun, ake diganti aken
4) Kata-kata dalam bahasa krama desa diantaranya;
kedhele krama desane = kedhangsul, dhekeman
kwali krama desane = kwangsul
jaran krama desane = kepel
belo krama desane = belet
mori krama desane = monten
kori krama desane = konten
ratan krama desane = radosan
wedi krama desane = wedos
kacang krama desane = kaos
tuwa krama desane = sepah
jagung krama desane = boga, gandum
gaga krama desane = gagi
tembako krama desane = santun
segelo krama desane = segenten
dhuwit krama desane = yatra
wani krama desane = wantun
duren krama desane = ambetan
Imogiri krama desane = Maginten
Semarang krama desane = Semawis
Wonosaba krama desane = Wonosowan
Pati krama desane = Santenan
Boyolali krama desane = Bajulkesupen
Salatiga krama desane = Salatigen
Kendal krama desane = Gajihan
Temanggung krama desane = Temanggel
Kediri krama desane = Kedinten
Karangasem krama desane = Kawisasem
Pekalongan krama desane = Pengangsalan
Parakan krama desane = Pendetan
Banyumas krama desane = Toyajene
D. Bahasa Jawa Kedhaton (Basa Bagongan)
Bahasa kedhaton (basa bagongan) yaitu bahasa percakapan para prajurit dan abdi raja di dalam kerajaan dan didepan petinggi kerajaan. Berwujud kata-kata krama dengan kata-kata bahasa kedhaton. Ater-ater dan panambang, jika yang berbicara itu prajurit dengan prajurit, abdi raja dengan abdi raja, tidak dikramakan. Namun jika abdi raja itu berbicara dengan pangeran-putra, ater-ater dan panambang harus dikramakan.
Perbedaan bahasa kedhaton Surakarta dan Ngayogyakarta:
Ngayogyakarta : Utawa Purusa/wong kapisan (aku), kedhatone manira Madyama Purusa/wong kapindho (kowe), kedhatone pakenira.
Surakarta :
a) Aku bagi para putra-sentana, menjadi mara. Kowe bagi para putra-sentana, menjadi para.
b) Aku bagi para punggawa, menjadi manira. Kowe bagi para punggawa, menjadi pakenira.
c) Aku bagi para panewu-mantri, menjadi kula. Kowe bagi para panewu-mantri, menjadi jengandika.
d) Aku bagi para pujangga, menjadi robaya. Kowe bagi para pujangga, menjadi panten.
Keterangan:
a) Ater-ater = dak diganti manira, ko diganti pakenira, di tetap di
b) Panambang = ku menjadi kula, mu menjadi dalem, e tetap e, ake tetap ake
c) Kata-kata kedhaton diantaranya;
punapa, kedhatone = punapi
iki, kedhatone = puniki
iku, kedhatone = puniku
ayo, kedhatone = nedha
gajah, kedhatone = dirada
macan, kedhatone = sardhula
ora, kedhatone = boya
ana, kedhatone = wenten
inggih, kedhatone = enggeh
bae, kedhatone = besaos
kebo, kedhatone = mundhing
jaran, kedhatone = kuda
Iya, kedhatone = enggeh
doyan, kedhatone = seta
seje, kedhatone = seyos
dhewe, kedhatone = dhawak
isih, kedhatone = meksih
weruh, kedhatone = meninga
sumangga, kedhatone = wawi
kandhane, kedhatone = pojare
duwe, kedhatone = darbe
keris, kedhatone = curiga
cemethi, kedhatone = tembung
apa, kedhatone = punapi
Contoh:
A = Kala wingi ing griya jengandika punapi wonten tamu?
B = Enggeh, adhi kula angka gangsal saking Ngayogyakarta?
A = Sajake kok wenten damel ingkang wigatos.
B = Boya, namingtuwi besaos, amargi rumaos kangen,sampun lami boya kepanggih.
E. Basa Jawa Kasar
Bahasa jawa kasar yaitu pada umumnya berasal dari kata dalam bahasa ngoko dan kata kasar, merupakan bahasanya orang yang yang sedang marah-marah.
Contoh bahasa Jawa Kasar:
Lha, wong rupamu, pantes karo dhapure, jegosmu ya mung nguntal karo micek.
Contoh Kalimat Unggah-Ungguh Bahasa Jawa Ngoko Andhap (ngoko Alus)
Ngoko lugu = NL; Ngoko andhap = NA; Krama alus = KM
Contoh:
BACA JUGA
1. NL = Bapak mulihe jam pira, Di?
NA = Bapak kondure jam pira, Di?
KM = Bapak konduripun pukul pinten?
2. NL Nar! Layang iki wenehna Pak Guru!
NA = Nar! Layang iki caosna Pak Guru!
KM = Mas Nar, serat punika caosaken Pak Guru.
3. NL = Yen ora gelem, ya ora dadi ngapa.
NA = Yen ora kersa ora dadi ngapa.
KM = Menawi mboten kersa inggih mboten dados punapa.
4. NL = Sing nganggo klambi bathik iku sapa?
NA = Sing ngagem klambi bathik iku sapa?
KM = Ingkang ngagem ageman bathik punika sinten?
Contoh Kalimat Unggah-Ungguh Bahasa Jawa Krama Alus
Ngoko andhap = NA; Krama alus = KA
Contoh:
1.NA = Priyayi iku pasuryane bagus.
KA = Priyayi menika pasuryanipun bagus.
2. NA = Jayus didukani Pak Guru amarga ora ngumpulake PR.
KA = Jayus dipun dukani Pk Guru amargi mboten ngumpulaken PR.
3. NA = Dhik Hasan ditimbali ibu, diparingi jajan.
KA = Dhik Hasan ditimbali ibu, dipun paringi jajan.
4. NA = Mbak Tutik ditimbali simbah, dingendikani, anggone arep omah-omah.
KA = Mbak Tutik dipun timbali Simbah, dipun ngendikani anggenipun badhe emahemah.
5. NA = Rawuhe Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono ing Semarang didherekaken bapak-bapak mentri.
KA = Rawuhipun Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono wonten Semarang dipun dherekaken bapak-bapak mentri.
6. NA = Unjukane Bapak wis adhem.
KA = Unjukanipun Bapak sampun asrep.
7. NA = Pak Lurah ngendikane dimidhangetaken wargane kanthi permati.
KA = Pak Lurah ngendikanipun dipun midhangetaken warganipun kanthi permati.
8. NA = Titihane Pakdhe diampil Bapak.
KA = Titihanipun Pakdhe dipun ampil Bapak.
9. NA = Adhik ditimbali Bapak, diutus mundhutake rokok.
KA = Adhik dipun timbali Bapak, dipun utus mundhutaken ses (rokok).
10. NA = Aku diutus Bapak, supaya nyaosaken layang iki marang Pak Lurah.
KA = Kula dipun utus Bapak, supados nyaosaken serat punika dhateng Pak Lurah.
Baca juga:
Tembung Camboran: Tegese, Tuladha, lan Wujude (Pengertian, Contoh, dan Jenisnya)
Tembung Entar Lan Tegese dalam Bahasa Jawa
Tembung Saroja dan Artinya Secara Lengkap
Tembung Garba Dalam Bahasa Jawa dan Contohnya
TEMBANG MACAPAT / SASTRA PIWULANG
Karya sastra Jawa sing minangka warisane leluhur ana akeh maceme sing bisa awake dhewe petuki nganti saiki. Salah sawijine geguritan Jawa sing kerep awake dhewe rungokake yaiku tembang macapat, sing minangka pametu cipta sastra Jawa anyar sing nggunakake basa Jawa anyar (Saputra, 2010: 12-13). Miturut ukura liyane, tembang macapat yaiku minangka wujud geguritan Jawa sing migunakake bahasa Jawa anyar, tinalenan karo paugeran guru gatra, guru wilangan, lan guru lagu.
Macapat kagolong geguritan tradisional Jawa, saben ayat macapat nduweni baris ukara sing kasebut gatra, lan saben gatra nduweni sakrenane guru wilangan tartamtu, lan akhir saka suara sing disebut guru lagu. Tembang macapat diartekne dadi maca papat-papat, yaiku maksude cara maca sing kajalin saben papat suku tembung.
Pangerten Macapat
Karya sastra Jawa sing minangka warisane leluhur ana akeh maceme sing bisa awake dhewe petuki nganti saiki. Salah sawijine geguritan Jawa sing kerep awake dhewe rungokake yaiku tembang macapat, sing minangka pametu cipta sastra Jawa anyar sing nggunakake basa Jawa anyar (Saputra, 2010: 12-13). Miturut ukura liyane, tembang macapat yaiku minangka wujud geguritan Jawa sing migunakake bahasa Jawa anyar, tinalenan karo paugeran guru gatra, guru wilangan, lan guru lagu.Puisi tradisional Jawa utawa tembang biasané dipérang dadi telung kategori: tembang cilik, tembang tengahan lan tembang gedhé. Macapat digolongaké kategori tembang cilik lan uga tembang tengahan, déné tembang gedhé arupa kakawin utawa puisi tradhisional Jawa Kuna, nanging ing jaman Mataram Anyar, ora dipatrapaké prabédan antara suku kata dawa lan cendhak. Saliyané kuwi tembang tengahan uga bisa ngarujuk marang kidung, puisi tradhisional jroning basa Jawa Tengahan.
Yèn dibandhingaké karo kakawin, aturan-aturan jroning macapat kuwi béda lan luwih gampang dipatrapaké jroning basa Jawa amarga béda karo kakawin sing didhasaraké marang basa Sanskerta, jroning macapat prabédan antara suku kata dawa lan cendhak dilirwakaké.
Aturan-aturan iku ana ing:
a. Guru gatra : wilangan larik/gatra saben pada (basa Indonesia: bait).
b. Guru wilangan : wilangan wanda (Indonesia: suku kata) saben gatra.
c. Guru lagu : tibané swara wanda ing pungkasan ing saben gatra.
Timbulipun Sekar Macapat
Tembang Macapat sampun wonten nalika jaman Majapahit, ananging sakalangkung anem saking sekar Tengahan. Sekar Macapat menika manut Tedjohadisumarto karipta dening Prabu Dewawasesa/ Prabu Banjaransari kala taun Jawi 1191 utawi 1269 masehi.
Antawisipun sekar Macapat kaliyan Tengahan menika meh memper. Paugeranipun meh sami (guru gatra, guru wilangan, saha guru lagu), ingkang mbedakaken naming basanipun. Sekar Tengahan ngangge basa Jawi tengahan, dene sekar Macapat ngangge basa Jawi enggal. Ing sekar Tengahan limrahipun cakepan winastan kidung, mila wonten kidung Durma, kidung Sinom. Cakepan kasebat sinerat wonten ing Kidung Sundayana.
Macapat kerep dijarwakaké minangka maca papat-papat awit carané maca pancèn rinakit saben patang wanda. Nanging iki dudu siji-sijiné makna, penafsiran liyané uga ana. Sajabané sing wis kasebut ing dhuwur, makna liya yakuwi tembung -pat ngarujuk marang cacahing tandha diakritis (sandhangan) jroning aksara Jawa sing relevan jroning panembangan macapat.
Banjur miturut Serat Mardawalagu, sing dikarang dening Ranggawarsita, macapat minangka cekakan saka frasa maca-pat-lagu sing tegesé "nglagokaké nada kapapat".Saliyané maca-pat-lagu, isih ana manèh maca-sa-lagu, maca-ro-lagu lan maca-tri-lagu.
Miturut ujaring kandha maca-sa klebu kategori paling tuwa lan diciptakaké déning para Déwa lan diturunaké marang pandita Walmiki lan ditangkaraké déning sang pujangga istana Yogiswara saka Kedhiri. Nyatané iki klebu kategori sing saiki disebut kanthi jeneng tembang gedhé.
Maca-ro klebu tipe tembang gedhé yakuwi cacahing bait (pada) saben pupuh bisa kurang saka papat sauntara kuwi cacahing sukukata (wanda) jroning saben bait (pada) ora mesthi padha lan diciptakaké déning Yogiswara.
Maca-tri utawa kategori sing katelu yakuwi tembang tengahan sing miturut ujar diciptakaké déning Resi Wiratmaka, pandhita istana Janggala lan disampurnakaké déning Pangeran Panji Inokartapati lan saduluré. Wusanané, macapat utawa tembang cilik diciptakaké déning Sunan Bonang lan diturunaké marang para wali.
Gunggungipun tembang macapat
Gunggungipun tembang macapat wonten 11, inggih menika:
1. Mijil
2. Kinanthi
3. Sinom
4. Asmarandana
5. Dhandhanggula
6. Gambuh
7. Maskumambang
8. Durma
9. Pangkur
10. Megatruh
11. Pocung
Watak lan Gunane Tembang Macapat
Nama Sekar :Watak Ginanipun
Mijil : asih, prihatin, pangajab mulang tiyang ingkang nembe prihatin
Kinanthi : seneng, asih, kasmaran mituturi, pratelan tresna, mulang
Sinom : ethes, prasaja piwulang, wewarah
Asmaradana : tresna, sedhih, sengsem nggambaraken kakesitan, mulang, tresna
Dhandhanggula : luwes, gumbira, endhah mahyakaken tresna, sedhih nandhang tresna, mbuka sekar/ srat, mahyaaken kahanan menapa kemawon cocok
Maskumambang : nelangsa, ngeres-ngeresi, sedhih mahyakaken raos panalangsa
Durma :keras, nepsu, semangat nggambaraken tiyang nepsu, perang
Pangkur : sereng, nepsu, gandrung pitutur radi srengen, gandrung
Pocung : sembrana, parikena, lucu cangkriman, crita lucu, guyon
Gambuh : sumanak, sumadulur mulang, pitutur
Megatruh : prihatin, getun, keduwung, sedhih cariyos ingkang sedhih, getun
Balabak : sembrana, saenake, lucu guyonan sakepenake, sembrana
Wirangwong
Wibawa :mahyakaken keagungan, kaendahan, piwulang
Girisa : gagah, wibawa, wanti-wanti piwulang, kasepuhan
Jurudemung : kenes (genit) mancing brahi
Guru Gatra, Guru Lagu lan Guru Wilangan Tembang Macapat
1. Mijil = 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u
2. Kinanthi = 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i
3. Sinom = 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a
4. Asmaradana = 8i, 8a, 8e/o, 8a, 7a, 8u, 8a
5. Dhandhanggula = 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a
6. Maskumambang = 12i, 6a, 8i, 8a
7. Durma = 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i
8. Pangkur = 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i
9. Gambuh = 7u, 10u, 12i, 8u, 8o
10. Megatruh = 12u, 8i, 8u, 8i, 8o
11. Pocung = 12u, 6a, 8i, 12a
Macapat iki uga sinebut tembang macapat asli, kang umumé dienggo sumrambah ing ngendi-ngendi. Urut-urutané tembang Jawa iku padha karo lelakoning manungsa saka mulai bayi abang nganti tumekaning pati. Mungguh kaya mangkéné urut-urutané tembang kaya kang ing ngisor iki:
1. Maskumambang
Gambaraké jabang bayi sing isih ono kandhutané ibuné, sing durung kawruhan lanang utawa wadhon, Mas ateges durung weruh lanang utawa wadhon, kumambang ateges uripé ngambang nyang kandhutané ibuné.
Apan kaya mangkono wewatek neki (12 i)
Sanadyan wong tuwa (6 a)
Yen duwe watek tan becik (8 i)
Miwah tindak tan prayoga (8 a)
2. Mijil
Ateges wis lair lan jelas priya utawa wanita.
Lan dimantep mring panggawe becik (10 i)
Lawan wekas ing ngong (6 o)
Aja kurang, iya panrimané (10 é)
Yen wis tinitah marang Hyang widhi (10 i)
Ing badan puniki (6 i)
Wus pepancen ipun (6 u)
3. Sinom
Ateges kanoman, minangka kalodhangan sing paling wigati kanggoné wong anom supaya bisa ngangsu kawruh sak akèh-akèhé.
Nulada laku utama (8 a)
Tumrap ing wong tanah Jawi (8 i)
Wong Agung ing Ngeksi Ganda (8 a)
Panembahan senapati (8 i)
Kepati amarsudi (7 i)
Sudaning hawa lan nepsu (8 u)
Pinesu tapa brata (7 a)
Tanapi ing siyang ratri (8 i)
Amemangun karye naktya sing sasama (12 a)
4. Kinanthi
Saka tembung kanthi utawa tuntun kang ateges dituntun supaya bisa mlaku ngambah panguripan ing alam ndonya.
Dadiya laku nireku (8 u)
Cegah dhahar lawan guling (8 i)
Lawan aja sukan sukan (8 a)
Anganggowa sawatawis (8 i)
Ala wateke wong suko(8 o)
Nyuda prayitna ning batin(8i)
5. Asmarandana
Ateges rasa tresna, tresna marang liyan (priya lan wanita lan kosok baliné) kang kabèh mau wis dadi kodrat Ilahi.
Aja turu soré kaki (8 i)
Ana Déwa nganglang jagad (8 a)
Nyangking bokor kencanané (8 é)
Isine donga tetulak (8 a)
Sandhang kelawan pangan (7 a)
Yaiku bagéyanipun (8 u)
wong melek sabar narima (8 a)
6. Gambuh
Saka tembung jumbuh / sarujuk kang ateges yèn wis jumbuh / sarujuk njur digathukaké antarane priya lan wanita sing padha nduwèni rasa tresna mau, ing pangangkah supaya bisaa urip bebrayan.
Sekar gambuh ping catur (7 u)
Kang cinatur polah kang kalantur (10 u)
Tanpa tutur katula-tula katali (12 u)
Kadaluwarso katutur (8 u)
Kapatuh pan dadi awon (8 o)
7. Dhandhanggula
Nggambaraké uripé wong kang lagi seneng-senengé, apa kang digayuh bisa kasembadan. Kelakon duwé sisihan / kulawarga, duwé anak, urip cukup kanggo sak kulawarga. Mula kuwi wong kang lagi bungah / bombong atine, bisa diarani lagu ndandanggula.
Lamun sira anggeguru kaki (10 i)
Amiliha manungsa kang nyata (10 a)
Ingkang becik martabate (8 é)
Sarta kang wruh ing hukum (7 u)
Kang ngibadah lan kang wirangi (9 i)
Sokur oleh wong tapa (7 a)
Ingkang wus amungkur (6 u)
Tan mikir paweweh ing lyan (8 a)
Iku pantes sira guranana kaki (12 i)
Sartane kawruhana (7 a)
8. Durma
Saka tembung darma/wèwèh. Wong yen wis rumangsa kacukupan uripé, banjur tuwuh rasa welas asih marang kadang mitra liyané kang lagi nandhang kacintrakan, mula banjur tuwuh rasa kepéngin darma/wèwèh marang sapadha - padha. Kabèh mau disengkuyung uga saka piwulangé agama lan watak sosialé manungsa.
Wusnya tibeng bentala prabu Rahwana (12 a)
Pancasonane dadi (7 i)
Sirna tatu nira (6 a)
Tung tumpulih sedaya (7 a)
Nepak bau kradha angrik (8 i)
Ndedel ngawiyat (5 a)
Ngusir nanendra peksi (7 i)
9. Pangkur
Saka tembung mungkur kang ateges nyingkiri hawa nepsu angkara murka. Kang dipikir tansah kepingin wèwèh marang sapadha - padha.
Sekar Pangkur kang winarna (8 a)
lelabuhan kang kanggo wong aurip (11 i)
ala lan becik puniku (8 u)
prayoga kawruhana (7 a)
adat waton puniku dipun kadulu (12 u)
miwa ingkang tatakrama (8 a)
den kaesthi siyang ratri (8 i)
10. Megatruh
Saka tembung megat roh utawa pegat rohe / nyawane, awit wis titi wanciné katimbalan marak sowan mring Sing Maha Kuwasa.
Na ra kena sinelak selak pineluk (12 u)
Mring kang ngadhang adhang sisip (8 i)
Yen loro anggepi reku (8 u)
Teman kether maring ngening (8 i)
Adoh kae let tan adoh (8 o)
11. Pocung
Yen wis dadi layon / mayit banjur dibungkus mori putih utawa dipocong sak durungé dikubur.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku (12 u)
Lekase lawan kas (6 a)
Tegese kas nyantosani (8 i)
setya budya pangekesing dur angkara (12 a)
Materi Cerkak, Bahasa Jawa Kelas X, Semester Gasal
Pangerten Cerkak
Cerita cekak (cerkak) yaiku sawijining karangan kang nyeritakake bab-bab kang ana gegayutane karo lelakone manungsa.
Crita ing cerkak dumadi andhedhasar saka urutan sawijining kedadean utawa prastawa.
Prastawa ing cerkak dilakoni dening paraga, lan paraga kasebut nglakoni rerangkening konflik saengga kedadean, paraga, lan konflik iku kalebu unsur pokok jroning cerkak.
Titikane Cerkak / Ciri Cerkak
Critane ringkes.
Ana gegayutane karo lelakone manungsa.
Alur crita dumadi saka wiwitan, dredah (bertengkar; berkelahi; berselisih), lan ngrampungake perkara.
Cacahe tembung kurang saka sewu tembung.
Unsur-Unsur Cerkak
Tema, yaiku inti utawa ide dhasare crita.
Latar, yaiku papan panggonan, hubungan wektu lan lingkungan sosial saka kedadeyan kang dicritakake ana ing crita.
Latar ing cerkak iku ana 3 jenise:
1. Latar panggonan, yaiku latar kang dadi papan panggonan nalika kedadeyan ana ing crita iku dicritakake.
2. Latar wektu,yaiku wektu nalika kadadeyan ana ing crita iku dicritakake.
3. Latar kahanan (suasana), yaiku kahanan lingkungan social nalika kedadeyan ana ing crita iku dicritakake.
Sudut pandang (point of view) yaiku posisine pengarang nalika nyritakake crita.
Posisi pengarang ana 2:
Dadi wong kapisan (orang pertama). Pengarang dadi tokoh lan lakon ana ing crita.
Cirine ana tembung “AKU”.
Tuladha: Aku isih durung percaya menawa dina iki aku bisa lungguh ana ing kursi stadion Olimpico roma…….
Dadi wong katelu (orang ketiga) pengarang dadi pengamat ana ing crita.
Cirine :
Nganggo jenenge wong, dheweke, panjenengane.
Alur/plot yaiku lakuning carita utawi urut-urutanipun carita.
Alur wonten 3 werna yaiku
1. Alur maju (progresif)
2. Alur mundur (regresif/flashback)
3. Alur campuran
Paraga (tokoh) yaiku tiyang ingkang maragani carita.
Paraga wonten 3 werna yaiku
1. Paraga utama (protagonis)
2. Paraga mungsuh (antagonis)
3. Paraga tambahan (tritagonis).
Penokohan, yaiku carane pengarang nggambarake lan njlentrehake karakter tokoh ana ing crita.
Ana 2 teknik kanggo nggambarake karakter salah sawijining tokoh.
1. Teknik Analitik, yaiku karakter/watak tokoh kang dijlentrehake kanthi langsung dening pengarang.
2.Teknik Dramatik, yaiku karakter/watak tokoh kang dijlentrehake kanthi penggambaran.
Amanat/pesen yaiku pesen utawa piweling ingkang badhe dipunaturaken dening pangripta marang pamaos, utawi pesen ingkang sinandhi ing crita kasebut.
Gaya basa, basa sing digunakake pangripta ing sajroning carita. Utawa cara khas kang dienggo pangripta kanggo medharake pikiran lan rasa atine.
Gaya basa ing jagad kasusastran Jawa bisa awujud basa rinengga, pepindhan, bebasan lan majas.
Sinopsis
Sinopsis yaiku ringkesan sawijining crita.
Ringkesan yaiku salah sawijining wujud nyekakake cerita kanthi tetep migatekake unsur- unsur intrinsike crita iku. Lumrahe sinopsis kurang saka 300 kata.
Carane gawe sinopsis :
1. Maca naskah asline, kanggo nggolek gagasan utamane
2. Nyatet gagasan utama kang penting
3. Ngrantam (nyusun) maneh gagasan utama dadi paragraf
4. Dialog lan monolog cukup ditulis isi utawa garis utamane
5. Sinopsis ora kena owah saka lakune crita asli.
Cerkak iku cekakan saka crita cekak. Diarani crita cekak amarga critane pancen cekak. Ora mung wujude kang cekak (2-5 kaca), nanging crita utawa lakon kang diandharake ya cekak. Umume wektu kang dibutuhake kanggo maca cekak iku mung sedhela wae.
Crita cekak umume dumadi saka sa alur wae. Tegese, prekara utawa konflik kang diadhepi dening paraga-paragane mung siji. Sanajan mengkono, masalah iku mau saya suwe saya ruwet, wusanane nganti dadi mbundhet (klimaks).\
CERKAK
A. Maca lan nanggepi isi teks cerkak Cerita cekak iku karangan utawa ripatan kang sumbere bisa saka kanyatan trus dibumboni, bisa uga murni saka kayalan utawa rekane pangripta/pengarange wae. Perangan-perangan kang mbangun wutuhe crita iku diarani unsur intrinsik, kang nyakup underane yaiku :
- prekara (tema)
- paraga (tokoh) lan watake paraga (penokohan)
- lakune crita (alur/plot)
- anggone pangripta nyritakake (point of view)
- kapan lan papan kedadeyane (setting)
- wulangan utawa tuntunan (amanat)
B. Nemokake tuntunan kang dikandhut ing teks cerkak Amanat iku wujude gagasan utawa gagasane pangripta/pengarang kang diajap bisa ditemokake dening para kang maca. Amanat-amanat iku biasane gegayutan karo niyat utawa pitutur kang becik, upamane bab katresnan kalebu :
1. Tresna marang sasamane
2. Tresna bangsa
3. Tresna budaya, lsp
Saliyane iku amanat uga ana kang gegayutan karo pangibadah utawa ketuhanan (religius), setya marang negara (patriotisme), pendhidhikan, kabudayan, lan sapanunggalane.
C. Nulis sinopsis teks cerkak Sinopsis iku ringkesan isine crita, kalebu cerita cekak. Urutan lan biasane sinopsis ora kudu padha karo basa ing crita. Sing baku, nalika nulis sinopsis yaiku :
• paraga
• watak
• wose (intine)
Nadyan mengkono, urutan anggone nulis sinopsis ora kudu padha karo urutan ing crita kui. Gampange rembug, sinopsis iku padha karo nyritakake maneh nganggo basamu dhewe.
D. Naliti sinopsis cekak Naliti sinopsis ing kene mengku arep, kanca padha kanca (sameja umpamane) padha bebarengan bijen-bijenan (saling menilai) sinopsis garapane. Kegiyatan kaya mengkene iki umume diarani njlimeti utawa menyunting. Sing di sunting yaiku :
~ aksarane
~ rutute ukara
~ tandha wacane
SESORAH / PIDATO BAHASA JAWA
Sesorah iku kalebu katrampilan micara ing sangarepe wong akeh. Sesorah iku mbutuhake katrampilan kang mligi lan mbutuhake rasa percaya dhiri. Sesorah dibutuhake ing pasrawungan samengkone nalika kowe kabeh wis diwasa.
Pangerten Sesorah
Sesorah yaiku micara ngenani gagasan utawa panemu sarana lisan ing sangarepe wong akeh. Sesorah ana ing bahasa Indonesia diarani pidhato. Ancase wong sesorah utawa medar sabda yaiku kanggo ngutarake panguneg-uneg utawa mratelakake informasi kanthi medhar pangandhikan ana ing sangarepe wong akeh supaya padha mangreteni sing diwadharake. Ancase sesorah utawa pidatho yaiku kaya ing ngisor iki.
Kanggo menehi pangerten utawa kawruh.
Kanggo menehi kabar utawa informasi marang wong liya.
Aweh panglipur.
Mbujuk supaya sing ngrungokake melu diadharake pamicara.
Pidhato utawa sesorah iku diwaca ing sangarepe wong akeh saengga menawa maca bisa migunakake metodhe kang beda-beda. Metodhe kang lumrahe kanggo maca pidhato yaiku kaya ing ngisor iki.
Metodhe naskah, yaiku nalika pidhato kanthi maca naskah kang wis digawe luwih dhisik.
QlMetodhe apalan, yaiku pidhato kanthi ngapalake naskahe luwih dhisik.
Metodhe dadakan/impromtu, yaiku metodhe kang ditindakake kanthi dadakan tanpa gawe naskah luwih dhisik.
Metodhe ekstemporan, yaiku metode sesorah kanthi nggunakake cathetan cilik kang isine bab-bab kang dianggep wigati kanggo sesorah
Jinising Sesorah
Miturut gunane, sesorah kabage dadi telu, yaiku:
Sabdatama (sesorah tunggal),
Pambagyaharja (mahargya rawuhe tamu), lan
Tanggap wacana (sesorah kang kudu antuk tanggapan).
Miturut kahanane sesorah, yaiku:
Sesorah resmi,
Sesorah setengah resmi, lan
Sesorah ora resmi.
Miturut pendekatan isine sesorah, yaiku:
Sesorah intelektual, lan
Sesorah moral.
Miturut ancase sesorah, yaiku:
Atur pambagyaharja, yaiku sesorah kanggo nampa rawuhipun para tamu ing adicara apa wae. Tuladha: ing pahargyan (pista), sukuran, lan sapanunggalane.
Menehi informasi utawa pawarta, yaiku informasi bisa arupa palapuran utawa sawijining bab kanthi gamblang/cetha. Tuladha: sesorah ing rapat, promosi barang, lan sapanunggalane.
Atur panglipur aweh hiburan, yaiku sesorah iki nduweni ancas wong kang mirengake seneng penggalihe. Tuladha: ing acara layatan, atur saking pambelasungkawa.
Pangajak, ancase sesorah iki kanggo milut atine wong saengga gelem nindakake apa kang diwedharake. Tuladha: penyuluhan kesehatan, penyuluhan pendhidhikan, lan sapanunggalane.
Mangerteni Struktur lan Isine Sesorah
Sesorah iku ndeweni struktur kang kudu ana sajroning teks sesorah kasebut. Isine sesorah iku bebas, miturut ancase lan kagunane sesorah kasebut.
Struktur sesorah yaiku kaya ing ngisor iki.
Salam Pambuka iku werna-werna gumantung kahanan lan sapa anggone tangap wacana. Tuladhane: wilujeng dalu, wilujeng enjang, lan liya-liyane.
Pambuka (Purwaka Basa) iku isine atur panuwun marang para tamu sing wis nglonggarake wektu minangkani panyuwune sing duwe gawe. Purwaka basa kaperang dadi telu yaiku, Atur pakurmatan, Atur pamuji syukur, Atur panuwun
Isi (Surasa Basa) iki babagan perkara utawa bab kang diandharake jroning pidhato.
Panutup (Wasana Basa) iku atur panuwun lan njaluk pangapura menawa ana kaluputane angone nindakake sesorah utawa pidhatp. Wasana basa kaperang dados kaleh, yaiku; Atur pangarep-arep, Atur pangapura
Salam Panutup. Tuladha: nuwun, matur nuwun, lan liya-liyane.
Pokok-pokok isine sesorah kang diwaca kudu bisa dimangerteni pamireng. Supaya gampang anggone mangerteni isine sesorah, pamireng kudu nindakake babobab ing ngisor iki.
Nggambarake sajroning isine pikiran saengga bisa nuwuhake citra kang bisa nggampangake mangerteni isi pidhato.
Nglumpukake katrangan menawa durung mangerteni isine pidhato.
Ngajokake pitakonan menawa durung mangerteni isine pidhato.
Nyatheti katrangan-katrangan sing wigati.
Munjerake kawigaten nalika nyemak pidhato.
Nulis Teks Sesorah
Sesorah iku ana gandheng cenenge karo ombaking kahanan kang lagi kedadean utawa kembang lambe masarakat saengga sadurunge nulis sesorah gathekna babagan ing ngisor iki.
Nggoleki prastawa utawa perkara kang dadi kembang lambe masarakat.
Milih tema lan gagasan kang arep diaturake.
Milih lan nemtokake pamireng sesorah.
Milih isine sesorah wujud gegambaran, pratelan, utawa panjlentrehan.
Milih basa kang pas karo pamireng.
Babagan kang kudu digathekake nalika gawe sesorah, kaya ing ngisor iki.
Unggah-ungguh basa.
Tembung lan ukara trep.
Basa kudu komunikatif, tegese kudu cetha karepe supaya wong kang ngrungokake bisa mangerteni karepe
Urut-urutane gawe sesorah, yaiku.
Nemtokake tema sesorah.
Nemtokake ancase sesorah.
Ngumpulake bahan sesorah.
Gawe cengkorongan sesorah.
Gawe naskah sesorah saka cengkorongan kang wis digawe.
Maca Teks Sesorah
Bab-bab kang digathekake nalika sesorah yaiku:
Nyiyapake underan/tema sesorah.
Nyiyutake tema dadi irah-irahan (judhul).
Nliti kahanan pamireng.
Gawe cengkorongan/kerangka sesorah.
Nemtokake ancase/tujuane sesorah.
Nglumpukake bahan sesorah.
Ngrembakakake cengkorongan.
Gladen sesorah.
Ing urip bebrayan, ana kalane awake dhewe didhawuhi supaya ngaturake sesorah ing sangarepe wong akeh. Umpamane ing acara arisan, supitan, sukuran, lan sapiturute. Supaya anggone sesorah bisa kaleksanan kanthi becik, kudu nggatekake bab-bab ing ngisor iki.
Basa, yaiki basa kang digunakake kudu cocog/trep karo sing mirengake.
Busana, yaiku naliko sesorah prayogane migunakake busana kang becik lan sopan. Bab iki kajaba ngrumati sing mirengake, bisa uga kanggo njaga lan ngajeni awake dhewe.
Swara, yaiku swara sing kapenak dirungokake. Ora keseron ugo ora alon banget. Anggone ngucapake tembung kudu cetha, ora groyak, ora kecepeten saengga kang diandharake bisa gampang ditampa. Kajaba iku, anggone sesorah uga nganggo irama, aja kaya wong maca buku.
Swasana, nalika arep sesorah kudu bisa mangerteni adicara saengga bisa ngetrepake basa lan busanane. Nalika sesorah kudu bisa tanggap ing sasmita saka para lenggah.
Solah bawa/patrap, yaiku solah bawane wong kang sesorah kudu madhep, mantep lan teteg. Madhep amrang para lenggah, aja tumungkul, lan aja ndangak. Supaya solah bawa bisa madhep, mantep, lan teteg iku mbutuhake gladen lan wektu.
Wong sesorah iku kudu nduweni etika utawa tata krama kaya ing ngisor iki.
Anggone guneman ora nglantur.
Prayogane wose wae, cekak, aos, lan cetha.
Ora ngulur-ulur wektu, kudu bisa maca kahanan.
Aja kumalungkung, yen ngadeg kudu ndeleng swasana ing kiwa tengene.
Tetep nuduhake yen nguwasani kahanan, ora malah ngatonake yen ora bisa.
Dene kang ora keno ditindakake nalika sesorah yaiku kaya ing ngisor iki.
Ngadeg tanpo nggatekake papan panggonan.
Ngadeg kanthi lendhehan.
Ngadeh kaku utawa kosok baline, lemes ora ana greget.
Ngadeg kanthi skil rapet utawa mbegagah amba.
Ngadeg kanthi lelambaran sikil siji.
Siyaga kang digawe-gawe.
Ngguyu kanthi digawe-gawe.
Mbesengut.
Gugup.
Ora nggatekake tamu.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Kawilujengan saha kabagaswarasan mugya tansah kajiwa kasarira dumateng panjenengan sedaya dalasan kula.
Ingkang satuhu kinurmatan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Brebes, Kepala SMA Negeri 1 Losari, Muspika kecamatan Losari Bapak/Ibu para rawuh dalasan kanca-kanca ingkang bagya mulya.
Saderengipun sumangga kula dherekaken monjukaken puja-puji syukur wonten ngarsa dalem Allah SWT ingkang sampun paring kanikmatan saha rahmat, satemah ing wekdal menika kula panjenengan saged kempal ing papan kalenggahan menika saperlu hangrawuhi adicara wisuda purna siswa saha tutup tahun palajaran 2023/2024 kanthi pinayungan bagas waras nir ing rubeda.
Bapak Ibu para rawuh ingkang dahat kinurmatan,
Boten karaos bilih kula sakanca sampun tigang warsa dangunipun ngangsu kawruh wonten ing SMA Negeri 1 Losari ingkang kinasih menika. Salajengipun ing kalodhangan menika, kepareng kula minangkani sesulihipun kanca-kanca kelas XII badhe ngaturaken tetembungan saking telenging manah, sadangunipun kula sakanca ngangsu kawruh wonten ing SMA Negeri 1 Losari menika.
Kula sakanca ngaturaken agungin panuwun kanthi ikhlasing manah dhumateng bapak Kepala sekolah, minangka manggalaning pra Dwija SMA Negeri 1 Losari, bapak saha ibu dwija dalasan karyawan SMA Negeri 1 Losari ingkang sampun kersa nggula-wenthah kula sakanca kanthi raos sih katresnan, kacihna kanthi panggula-wentah kados ing kawah candradimuka menika kula sakanca saged nglampahi Ujian Nasional saha Ujian Sekolah kanthi sae.
Kula sakanca ngaturaken agunging samudra pangaksami dhuamteng bapak Kepala Sekolah, bapak ibu dwija saha karyawan SMA Negeri 1 Losari mbok bilih sadangunipun kula sakanca dipungula-wenthah ing kawah candradimuka menika kathah kalepatan arupi atur ingkang boten mranani, trapsila ingkang boten tata, lan saweneh kawontenan ingkang boten mantesi, saestu sepisan malih kanthi andhap asoring manah kula sakanca nyuwun lumunturing sih pangaksama.
Kula sakanca ugi nyuwun tambahing donga pangestu saking bapak ibu dwija dalah karyawan saha rayi kula ingkang samenika lenggah wonten ing kelas sedasa saha sewelas. Mugi-mugi kula sakanca saged nglajengaken wonten pawiyatan ingkang langkung inggil malih saha saged nggayuh gegayuhan ingkang dados pangimpen kula sakanca. Amin.
Ing wusana, kanthi tulusing manah kula sakanca namung saged ndherek dedonga mugi-mugi SMA Negeri lOSARI langkung misuwur saha dados pawiyatan ingkang migunani dhumateng bebrayan ageng ing tlatah Losari Kabupaten Brebes. Amin.
Cekap semanten atur kula, mbok bilih wonten klenta-klentunipun atur awit saking kiranging seserepan kula ngengingi basa, sastra saha subasita, kula nyuwun sih samudra pangaksami. Nuwun.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
NOVEL
Novel yaiku rerangken kang awujud gancaran (prosa) kang dawa ngandhut rerangken crita bab panguripan sawijining wong lan wong ing sakupenge kanthi nonjolake watek lan sipate saben paraga. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Unsur Intrinsik
1. Tema yaiku ide pokok utawa permasalahan utama kang ndhasari crita novel.
2. Setting yaiku minangka latar belakang kang mbantu cethaning laku crita, setting iku ngemot wektu, papan/panggonan, sosial budaya.
3. Punjering Crita, kaperang dadi 3.
3.1. Sesulih wong Kapisan
Pengarang nggunakake sudut pandang tokoh lan tembung sesulih wong kapisan (Kata ganti orang pertama).
Nyritakake apa kang dilakoni, lan ngetokake rasa pangrasane dhewe kanthi tembung-tembunge dhewe.
3.2. Sesulih wong Katelu
Pengarang nggunakake sudut pandang tokoh bawahan, pengarang luwih akeh ngamati saka sanjabane crita.
Pengarang biyasane nggunakake tembung sesulih wong katelu (Kata ganti orang ketiga)
3.3. Sudut Pandang impersonal
Pengarang sanyatane dumunung ing sanjabane crita, mung sarwa nyawang, ngrungokake, lan ngerti.
Pengarang bisa nyawang tokoh nganti tekan sajroning pikiran lan atine.
4. Alur/Plot
Rerangkening prastawa/kedadeyan ing Novel.
Alur Maju (Progresif)
Alur Mundur (Regresif)
Alur Campuran
5. Penokohan
Penokohan iku nggambarake karakter kanggo paraga.
Paraga bisa dingerteni karaktere saka tumindake, ciri fisike, lingkungane.
6. Gaya Bahasa
Yaiku gaya kang digunakake ing novel kasebut.
7. Amanat
Pesen / Piweling kang arep diwenehake pengarang marang pamaos Novel
Unsur Ekstrinsik
Unsur iku ngemot latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang.
Jenis Novel
Novel Serius, Novel serius yaiku novel kang surasane bisa manungsakake manungsa pamaca. Tegese, wong kang maca bisa dadi pribadhi kang luwih becik Novel serius nduweni piguna sosial (bisa nggulawenthah wong tuwa utawa masyarakat supaya dadi manungsa kang luwih prasaja)
Novel Hiburan, Novel hiburan yaiku novel kang ngatonake unsur hiburane saengga pamaca rinasa enak kepenak, agawe gayeng pamaca kanggo ngrampungake novel kasebut Novel hiburan nduweni piguna personal (ora nggatekake carane “mulang” pamaca, bab paling wigati kang digatekake yaiku bisa narik kawigatene pamaca lan gawe pengin ngrampungake anggone maca.
Artikel basa jawa | Pangerten, Tujuan, Struktur, lan Jenis
Pangerten Artikel
Artikel yaiku karangan nyata kanthi dowo tertentu disebarake lewat koran, majalah, lan media massa liane.
Tujuane wong kang nggawe artikel yaiku kanggo ngekek i tambahan ilmu pengetahuan ngeyakinake wong kang moco, lan gawe hiburan.
Artikel bisa diartekake tulisan kang isine panemu, ide utawa fakta kang tarkadang nglelipur, ndhidik utawa nyaruwe sawijine babagan kang pinuju sinebar liwat medhia massa sacara online utawa offline.
Struktur Artikel
Irah irahan : Irah irahan sajrone bahasa indonesia iku judul ,Irah irahan iku gawe ngewakilake isi ing sajrone artikel.
Pambuka : Pambuka iku tugase gawe mbuka isi artikel. Yen pambuka ora menarik , wong kang maca males nerusake macane ing artikel iku mau.
Isi : Isi tugase njlentrehno opo kang kape dijelasno. Inti saka artikel iku mau.
Panutup : Panutup iku tugase kanggo nutup artikel.
Jinis Jinise Artikel lan Tuladhane
Artikel Eksploratif : Artikel kang tulisane ndungkapane fakta fakta miturut pamawase si penulis. Jenis artikel iki cocog kanggo maparake temon temon anyar. Tuladhane : Makalah paniliten, Nemokake fosil tinggalan jaman purba, lan sapiturute.
Artikel Eksplanatif : Artikel iki tegese maparaken keterangan sawijine perkoro tuladhane : tawuran antar pelajar.
Artikel Predhikatif : Artikel iki isine pitungan utawa ramalan miturut penulis tuladhane : ramalan cuaca.
Artikel Preskriptif : Artikel sing ngekek i tuntunan agar pembaca mboten keliru. Tuladhane : cara nggae kripik.
Artikel Argumentasi : Artikel kanggo mbuktiake kebenaran (pendapat e wong), tuladhane : mene sare miturut Sandy udan deres.
Artikel Eksposisi : Artikel iki tegese njlentrehake sawijining topik kanggo tambahan ilmu. Tuladhane : Kenduren.
ARTIKEL
Pangertosan Artikel
Artikel inggih menika satunggaling karya jurnalistik ingkang wosipun gudhari satunggaling prekawis ing masarakat. Karya menika kaserat dening para ahli, para freelance (tiyang ingkang asring nyerat ing medhia nanging boten kaiket medhianipun), saged ugi para wartawan. Anggenipun mahyakaken gagasan langkung kathah subjektifitas utawi seserepan saha pengalaman panyeratipun piyambak. Karya jurnalistik jenis menika ing ariwarti lumrahipun mlebet wonten kolom artikel /opini. Umpaminipun artikel bab: pralambang kabudayan, upacara adat, kesenian, lsp.
Jinising seratan
Cariyos (narasi)
nyariosaken satunggaling kawontenan, barang, tatacara, lan sanes-sanesipun. Tuladhanipun: dongeng, fabel, legenda, mite, lsp.
Gegambaran (deskripsi)
nggambaraken kawontenaning barang, swasana, kedadosan, lsp. Tuladha: seratan bab papan wisata Goa Kiskenda, Pantai Glagah.
Paparan (Eksposisi)
Ngandharaken utawi maparaken satunggaling maksud ancas utawi samubarang sanesipun. Tuladhanipun: caranipun damel tempe, gula aren, gula semut, lsp
Penggalihan (Argumentasi)
nggandharaken gagasan-gagasan ingkang dipunkantehni katrangan-katrangan, dhedhasar pawadan-pawadan kangge nyaruwe, nampik menapa nggiyataken penggalihan. Tuladhanipun: Pangaribawanipun formalin ing Bakso, Nglestantunaken budaya Jawi, lsp.
Ajakan (Persuasi)
seratan ingkang wosipun ngajak-ajak tiyang sanes supados tuwuh kayakinanipun satemah sarujuk saha nyengkuyung gagasanipun ingkang nyerat. Tuladha: Iklan, pengaosan agami, lsp.
Caranipun nyerat artikel:
Nemtokaken tema utawi topik ingkang badhe kaserat (prayoginipun topik ingkang enggal)
Nemtokaken medhia menapa lan pundi ingkang badhe mahyakaken karya menika (awit saben medhia gadhah paugeran piyambak-piyambak)
Nemtokaken irah-irahan
Pados bahan-bahan ingkang wonten gegayutanipun kaliyan tema, langkung sae dipunkantheni gambar utawi foto.
Damel cengkorongan artikel, saben cengkorongan dipunracik wosipun
Mekaraken cengkorongan dados seratan ingkang wetah
Basa ingkang dipunginakaken ringkes lan mentes.
Ukaranipun prasaja, nanging runtut supados pamaos boten bingung.
Antawisipun tema, irah-irahan, lan isi kedah sambung.
Boten ajrih, lingsem, mutung menawi seratan ingkang dipunkintun ing medhia boten saged kapacak.
ARTIKEL
Pasinaon iki ngrembug teks artikel. Ancase supaya para siswa bisa tambah kawruhe ing babagan tata rakit utawa panulisane artikel. Minangka ketrampilan nulis, artikel bisa dibedakake manut isine yaiku artikel ilmiah lan artikel populer. Artikel ilmiah luwih nengenake marang wawasan tumrape seserepan lan ngelmu, dene artikel populer digawe kanthi nengenake pirembugan sing entheng nanging tetep mirasa kanggo diwaca.
STRUKTUR TEKS ARTIKEL
Struktur teks artikel mujudake gegambaran kepriye artikel kasebut diwangun. Bisa kokjingglengi sawijine artikel kasusun kanthi struktur : pambuka, isi, lan dudutan. Panulise artikel kudu migatekake isine gagasan utawa ide ilmiahe. Gagasan ilmiah iku bisa disumurupi saka substansi gagasane lan alur ilmiah ing artikel kasebut.
JINISE ARTIKEL
Miturut teorine, wewatakan lan pamangune sawijine artikel bisa njalari jinise artikel bisa kaperang dadi :
Artikel Ekploratif
Artikel eksploratif yaiku artikel sing ngandharake kanyatan-kanyatan miturut panalare panulis. Jinis iki pas banget kanggo ngandharake temon-temon anyar. Tuladhane ana sawijine pawongan nemokake barang-barang antik.
Artikel Eksplanatif
Eksplanatif tegese njelasake. Artikel eksplanatif yaiku artikel sing isine nerangake sawijine masalah sing bisa dipahami dening sing maca.
Artikel Deskriptif
Deskriptif yaiku artikel sing ngandharake sawijine masalah kang dumadi ing masyarakat, sahingga bisa disumurupi apa sing satemene dumadi. Jinis iki memper kaya laporan utawa reportase, bedane yen laporan mung adhedhasar kasunyatan wae, yen artikel panulisane nerangake masalah kanthi gamblang bisa awujud opini
Artikel Prediktif
Artikel prediktif yaiku artikel sing isine petungan utawa ramalan apa kang dumadi ing mangkone manut petungane panulise.
Artikel Preskriptif
Artikel preskriptif yaiku artikel sing menehi tuntunan tumrap sing maca kanggo nindakake sawijine pakarya sahingga ora kliru utawa salah anggone nindakake.
UNSUR BASA TEKS ARTIKEL
Unsur basa sing bakal disinoani lumantar artikel iki yaiku jinise ukara. Miturut akeh sithike rerangkene tembung, ukara dibedakake dadi rong ukara yaiku ukara lamba lan ukara camboran.
Ukara Lamba
Ukara lamba diarani uga ukara tunggal, yaiku ukara kang gagasane mung siji kang dumadi saka Jejer (J) lan Wasesa (W)
Tuladhane ukara lamba :
Komponen iki mbebayani banget.
Sampah elektronik kudu kaolah luwih dhisik.
Ukara Camboran
Ukara camboran yaiku yaiku ukara kang gagasane luwih saka siji, Jejer (J), Wasesa (W), Lesan (L) utawa Katrangan (K) luwih saka siji.
Tuladha ukara camboran :
Saben dina ewon jenis barang elektronik diproduksi lan kaimpor.
Sampah elektronik kudu diolah kanthi bener lan pamilahe kudu selektif.
TATA CARA NINTINGI TEKS ARTIKEL
Perlu dimangerteni tata cara nintingi teks artikel bisa kanthi urutan kaya mangkene :
Irah-irahan artikel
Asmane penulis artikel
Media sing digunakake
Foto lan sumber
Papan panggonan dumadine
Ukara kasunyatan, aktual lan wis kedadeyan
Akibat sawise kedadeyan
Dina lan tanggale kedadeyan
Nara sumber
Asmane narasumber
Pawangsulane narasumber ngenani pitakon gegayutan sebab musababe prastawa
Pratelane narasumber
Panemune narasumber kanggo ngudhari masalah
TATA CARA MACA EKSPRESIF TEKS ARTIKEL
Para siswa kabeh, kaya kang wis mbok ngerteni, tembung ekspresi tegese pamedharing pamikir lan rasa-pangrasane manungsa, nalika dheweke sesambungan karo kahanane jagad sakupenge. Lumantar ekspresine, saben manungsa bisa ngatonake apa sing sejatine dipikir lan dirasa nalika nemoni sawijine prakara.
Pamacan ekpresif tegese pamacan utawa carane maca sawijine teks tartamtu, sing njalari wong sing maca nduweni pamikir lan rasa-pangrasa khusus ngenani isi lan wewatakane teks mau. Mula saka iku, pamacan ekspresif ngudokake wong sing maca mau nggambarake gregete rasa nalika sesambungan karo isining teks.
TATA CARA NGRINGKES TEKS ARTIKEL
Saiki wis kokngerteni carane nggawe ringkesan. Isi ringkesan kudu pada karo isi wacan kang diringkes. Olehmu ngringkes, uga bisa manfaatake struktur teks iku kanggo pathokan. Bandhingna ringkesanmu karo garapane kancamu. Apa pancen isine padha persis antarane ringkesan lan wacan, yen durung, balenana lan benerna maneh nganti kasil. Cara ngringkes kaya mangkono mau bisa kok trapake kanggo luwih mangerteni wacan liyane. Kegiyatan iki bakal krasa luwih gampang lan nyenengake yen sering kok lakoni.
MATERI KELAS XII IPS
SERAT TRIPAMA DHANDANGGULA
Sejarah Serat Tripama Dhandanggula
Serat tripama minangka karya sastra budaya Jawa awujud tembang macapat dhandanggula, kang kasusun saka pitung bait. Serat Tripama pisanan muncul ing jaman Mangkunegaran, sing digawe Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (KGPAA Mangkunegara IV) ing Surakarta. Serat tripama iki pisanan diterbitake ing koleksi gaweyan dening Mangkunegara IV, jilid III (1927).
Serat Tripama, kalebu ngemot bab kaprawiran, kanthi ketelitian sing luwih tepat. Serat tripama iki nerangake bab iki kanthi njupuk telung crita saka paraga ing carita wayang, yaiku Patih Suwanda, Kumbakarna, lan Basukarna. Serat tripama dhewe ditulis udakara taun 1860 lan digunakake minangka panutan lan sumber inspirasi sing bisa dadi panutan, iki ora mung ditrapake kanggo para prajurit, nanging uga kanggo para pimpinan lan masarakat saiki supaya bisa nindakake tugas masing-masing kanthi bener lan bisa dipertanggungjawabake.
Pengertian Serat Tripama Tembang Dhandanggula
Serat tripama (telung suri tauladhan) miturut KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) ing Surakarta, ditulis nganggo tembang dhandhanggula, ana pitung baus lan nyritakake Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna, lan Suryaputra (Adipati Karna). Alesan milih telung tokoh ing ndhuwur yaiku duwe watak apik lan kesatria lan duwe semangat nasional lan patriotisme tumrap negarane masing-masing. Umume, serat tripama iki awujud pitutur/paribasan gegayutan karo nilai teladan sing apik saka telung tokoh kasebut.
Serat tipama awujud Dhandanggula kang cacahe 7 pada. Pada nemer siji lan nomer loro nyritakake Patih Suwanda, pada nomer telu lan papat nyritakake Kumbakarna, banjur pada kaping lima lan nomer enem nyritakake babagan Adipati Karna, lan duwe kesimpulan lan penutup ing bait kaping pitu. Dahandang Gula saka tembung Dhandang (pengarep) lan Gula (kabecikan). Tembang Dhandanggula anduweni watak luwes, ngresepake, lan rasa kasraman.
Baca Juga : Pupuh Kinanthi Beserta Artinya
Tembang Dhandanggula Serat Tripama
Serat Tripama
KGPAA MANGKUNEGARA IV
yogyanira kang para prajurit,
lamun bisa samya anulada,
kadya nguni caritane,
andelira sang Prabu,
sasrabau ng Maespati,
aran Patih Suwanda,
lalabuhanipun,
kang ginelung triperkara,
guna kaya purunne kang denantepi,
nuhoni trah utama.
becike para prajurit kabeh,
bisa niru (nyontoa),
kaya dongengan jaman kuna,
andel-andele sang Prabu
Sasrabau ing Maespati,
asmane Patih Suwanda,
lelabuhane (jasane),
kang digelung ing 3 perkara,
yaiku guna kaya purun kang diantepi,
netepi trah wong utama.
lire lalabuhan tri prakawis,
guna bisa saniskareng karya,
binudi dadi unggule,
kaya sayektinipun,
duk bantu prang Manggada nagri,
amboyong putri dhomas,
katur ratunipun,
purunne sampun tetela,
aprang tandhing lan aditya Ngalengka aji,
suwanda mati ngrana.
Tegese lelabuhan telung prakara,
yaiku guna bisa mrantasi,
gawe supaya dadi unggul,
kaya nalika paprangan negara Manggada,
bisa mboyong putri dhomas,
diaturake marang ratu,
purun kekendale wis nyata,
nalika perang tandhing karo Dasamuka ratu negara Ngalengka,
patih Suwanda gugur ing madyaning paprangan.
wonten malih tuladan prayogi,
satriya gung nagari ngalengka,
sang Kumbakarna namane,
tur iku warna diyu,
suprandene nggayuh utami,
duk awit prang Ngalengka,
dennya darbe atur,
mring raka amrih raharja,
dasamuka tan keguh ing atur yekti,
de mung mungsuh wanara.
Ana maneh conto sing prayoga (becik),
yaiku satriya agung ing negara Ngalengka,
sing asmane Kumbakarna,
Sanadyan wujude buta,
parandene kepengin nggayuh kautaman,
Nalika wiwit perang Ngalengka,
dheweke nduwe atur,
marang ingkang raka supaya Ngalengka tetep slamet (raharja),
Dasamuka ora nggugu guneme Kumbakarna,
jalaran mung mungsuh bala kethek.
Kumbakarna kinen mangsah jurit,
mring kang raka sira tan lenggana,
nglungguhi kasatriyane,
ing tekad datan purun,
anung cipta labih nagari,
lan nolih yayahrena,
myang leluhuripun,
wus mukti aneng Ngalengka,
mangke arsa rinusak ing bala kapi,
punagi mati ngrana.
Kumbakarna didhawuhi maju perang,
ora mbantah jalaran nglungguhi,
netepi watak satriyane,
tekade ora gelem,
mung mikir labuh negara,
lan ngelingi bapak ibune,
sarta leluhure,
sing wis mukti ana ing Ngalengka,
saiki arep dirusak bala kethek,
luwih becik gugur ing paprangan.
wonten malih kinarya palupi,
suryaputra Narpati Ngawangga,
lan Pandhawa tur kadange,
len yayah tunggil ibu,
suwita mring Sri Kurupati,
aneng nagri Ngastina,
kinarya gul-agul,
manggala golonganing prang,
bratayuda ingadegken senapati,
ngalaga ing Korawa.
Ana maneh sing kena digawe patuladhan,
yaiku R. Suryaputra ratu ing negara Ngawangga,
karo Pandhawa isih sadulur,
pada bapa tunggal ibu,
ngabdi marang Prabu Kurupati,
ing negara Ngastina,
dadi kesayangan,
didadekake manggalaning (panglima ) prajurit Ngastina,
nalika ing perang Bratayuda,
mbela ing Kurawa.
minungsuhken kadange pribadi,
aprang tandhing lang sang Dananjaya,
Sri karna suka manahe,
dene sira pikantuk,
marga dennya arsa males-sih,
ira sang Duryudana,
marmanta kalangkung,
dennya ngetog kasudiran,
aprang rame Karna mati jinemparing,
sumbaga wiratama.
Dimungsuhake karo sedulure dhewe,
yaiku R. Arjuna (Dananjaya),
Prabu Karna seneng banget atine,
jalaran oleh dalan kanggo males,
kabecikane Prabu Duryudana,
tekade temenanan banget,
anggone ngetog kekendelan,
wusanane Karna gugur kena panah,
kondhang minangka prajurit kang utama.
katri mangka sudarsaning Jawi,
pantes lamun sagung pra prawira,
amirita sakadare,
ing lalabuhanipun,
aja kongsi mbuwang palupi,
manawa tibeng nistha,
ina esthinipun,
sanadyan tekading buta,
tan prabeda budi panduming dumadi,
marsudi ing kotaman.
Conto telu-telune mau minangka patuladhan tanah Jawa,
Becik (pantes) yen sakabehe para perwira,
nuladha sakadare (sakuwasane),
ing lelabuhanipun,
aja nganti mbuwang conto,
jalaran yen tibaning apes dadi ina,
sanadyan tekade buta,
ora beda kalawan titah liya,
nggolek kautaman.
Kesimpulan :
1. Pada Kapisan lan Kaloro
Pada pertama lan nomer loro nyritakake Bambang Sumantri sing jejuluk Patih Suwanda. Patih Suwanda minangka gubernur Prabu Maespati, yaiku Arjuna Sasrabahu. Dheweke dadi panutan sing setya lan mantep banget kanggo nindakake kewajiban sing diperintah nggawa Putri Citrangada lan 800 kanca.
Saka pada kasebut, kita bisa nyimpulake yen telung sipat pahlawan Patih Suwanda kaya ing ngisor iki:
Guna: ahli, pinter lan trampil lan ngabdi marang Bangsa lan negara.
Kaya: Nalika Patih Suwanda diutus Prabu Arjuna Sasrabahu, dheweke bali nggawa barang rampasan perang. Barang jarahan kasebut ora digunakake kanggo kabutuhan pribadi, nanging kanggo kesejahteraan Bangsa lan Negara Maespati.
Purun: gagah, Patih Suwanda mesthi wani ing kabeh perkara lan ing saben gelut.
2. Pada Katelu lan Papat
Pada kaping telu lan nomer papat nyritakake babagan raksasa sing jenenge Kumbakarna sing adhine Prabu Alengka, Dasamuka (Rahwana). Kumbakarna minangka tokoh raksasa sing duweni watak kerajaan lan setya karo negarane. Iki bertentangan karo watak sedulure sing sombong lan sembarangan.
Nalika Alengka diserang dening tentara kethek, Kumbakarna terus perang kanthi ora sabar kanggo mbela adhine sing salah amarga nyulik Dewi Shinta, nanging minangka ksatria sing bisa ngorbanake awak lan jiwa kanggo negarane, uga warisan saka leluhure. Pasukan kethek sing akeh banget akhire nggawe Kumbakarna guguur ing perang.
3. Pada Kaping Lima lan Nomer Enem
Pada kaping lima lan nomer enem nyritakake Prabu Suryaputera utawa Raja Karna saka Anga. Amarga dheweke ngerti ora setya marang bapake, Prabu Salya, apamaneh nalika biyunge, Dewi Kunthi, njaluk bali menyang Pandawa, nulungi adhine-adhine ing perang Baratayudha. Nalika semana Karna nolak amarga dheweke wis janji janji bakal mbela mungsuh Pandhawa, yaiku Kaurawa. Sebabe amarga Duryudhana ngundhakake pangkat saka putra kreta dadi Raja Anga. Supaya kesetiaan dheweke bakal terus berjuang sajrone dheweke isih urip lan ambegan.
4. Pada Kapitu
Bait kaping pitu nerangake manawa telung tokoh kasebut kudune ditiru, sing kudu ditiru yaiku pengabdian lan sipat teladan kanggo ngetokake watak utama lan luhur.
Pitutur Luhur :
Serat tripama ngemot konsep pertahanan negara kanthi rinci ing lirik kasebut.
Piwulang babagan bab katresnan kanggo mbela bangsa lan negara.
Kepentingan bangsa lan negara kudu dadi prioritas tinimbang kepentingan pribadi.
SERAT TRIPAMA
Serat Tripama (tiga suri tauladan) adalah karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) dei Surakarta, yang ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra (Adipati Karna).
Bambang Sumantri yang setelah menjadi patih disebut “Patih Suwanda” adalah Patih dari Raja Harjunasasrabahu dari negara Maespati pada era sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Patih Suwanda termasyhur dalam kegagahberaniannya, mampu melaksanakan semua tugas dari Prabu Harjunasasrabahu dengan penuh tanggungjawab dan akhirnya gugur di palagan melawan Dasamuka.
Kumbakarna adalah adik dari Prabu Dasamuka raja Ngalengkadiraja (Alengka), walaupun berbentuk raksasa tetapi tidak mau membenarkan tindakan kakaknya yang angkara murka dengan menculik Dewi Shinta. Walaupun demikian pada saat kerajaan Ngalengkadiraja diserang oleh musuh, yaitu Sri Rama dan pasukannya, Kumbakarna memenuhi panggilan sifat ksatrianya, mengorbankan jiwa untuk membela tanah air.
Kumbakarna gugur membela negara, bukan membela kakaknya. Kumbakarna adalah salah satu pelaku dalam kisah Ramayana.
Adipati Karna adalah tokoh dalam Mahabharata. Ia tidak membela Pandawa yang saudara satu ibu melainkan membela Prabu Suyudana (Kurupati) raja Hastina untuk membalas budi baik sang raja yang telah mengangkat derajatnya. Adipati Karna yang saat kelahirannya dibuang di sungai kemudian ditemu dan diangkat anak oleh kusir Adirata, dijadikan adipati oleh Prabu Suyudana.
Oleh sebab itu dalam perang besar Bharatayuda Adipati Karna berada di pihak Kurawa yang ia tahu bahwa Kurawa adalah pihak yang angkara murka. Sang Suryaputra gugur dalam perang tanding melawan Harjuna, adiknya, satu ibu.
Secara ringkas, itulah kepahlawanan tiga ksatria dalam tiga jaman yang berbeda yang diangkat oleh Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang terdiri dari 7 bait tembang Dhandanggula: Bait pertama dan ke dua mengisahkan kepahlawanan Kumbakarna, Bait ke tiga dan empat tentang Kumbakarna, Bait ke lima dan enam mengenai Adipati Karna dan Bait ke tujuh adalah kesimpulan/penutup.
Suwanda
Yogyanira kang para prajurit; Lamun bisa sira anulada; Duk ing nguni caritane; Andelira Sang Prabu; Sasrabahu ing Maespati; Aran patih Suwanda; Lalabuhanipun; Kang ginelung triprakara; Guna kaya purun ingkang den antepi; Nuhoni trah utama.
Lire lalabuhan triprakawis; Guna bisa saniskareng karya; Binudi dadya unggule; Kaya sayektinipun; Duk bantu prang Manggada nagri; Amboyong putri dhomas; Katur ratunipun; Purune sampun tetela; Aprang tanding lan ditya Ngalengka nagri; Suwanda mati ngrana.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Seyogyanya para prajurit; Semua bisa meniru; Seperti ceritera pada jaman dulu; Andalan sang raja; Sasrabahu di negara Maespati; Namanya Patih Suwanda; Jasa-jasanya; Dikemas dalam tiga hal; Pandai, mampu dan berani (Guna, Kaya, Purun), itulah yang dipegang teguh; Menetapi keturunan orang utama.
Artinya dharmabakti yang tiga hal itu; Guna: bisa menyelesaikan masalah; Berupaya untuk memperoleh kemenangan; Kaya: ketika peperangan di negara Manggada; Bisa memboyong putri dhomas; Diserahkan kepada sang raja; Purun: Keberaniannya sudah nyata ketika perang tanding (dengan Dasamuka) raja Ngalengka; Patih Suwanda gugur di medan perang.
Nilai Kepahlawanannya sebagai berikut
GUNA: Nuhoni trah utami dalam hal ini adalah menetapi keturunan orang utama, yaitu ksatria dengan sifat-sifat ksatrianya yang mampu menyelesaikan masalah. Unggul dalam segala hal. KAYA: Disini disebutkan dalam peperangan berhasil memboyong putri Dhomas (penafsiran disini tidak hanya memboyong putri domas yang 800 jumlahnya tetapi juga harta rampasan perang).
PURUN: Kegagahberaniannya. Dasamuka adalah raja yang tidak tertandingi kesaktiannya kecuali oleh titisan Wisnu (yang tak lain adalah Prabu Harjuna Sasrabahu sendiri, tapi saat itu sang Prabu sedang bercengkerama dengan istri-istrinya). Patih Suwanda berperang sampai titik darah penghasilan dan gugur di palagan.
Kumbakarna
Wonten malih tuladan prayogi; Satriya gung nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, Tur iku warna diyu; Suprandene nggayuh utami; Duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur; Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan keguh ing atur yekti; Dene mengsah wanara.
Kumbakarna kinen mangsah jurit; Mring kang raka sira tan lenggana; Nglungguhi kasatriyane; Ing tekad datan purun; Amung cipta labuh nagari; Lan noleh yayah rena; Nyang leluhuripun; Wus mukti aneng Ngalengka mangke; Arsa rinusak ing bala kapi; Punagi mati ngrana.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi tauladan yang baik; Satria agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna namanya; Walaupun wujudnya raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan; Ketika dimulainya perang Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya (Prabu Dasamuka supaya (Ngalengka) selamat; Dasamuka tidak mau mendengar pendapat baik; Karena hanya melawan (balatentara) kera.
Kumbakarna diperintah maju perang; Kepada kakaknya ia tidak membantah; Karena menetapi sifat ksatria; (sebenarnya) Tekadnya tidak mau; Hanya semata-mata bela negara; Dan melihat bapak ibunya; Serta leluhurnya; Sudah hidup mukti di negara Ngalengka; Sekarang mau dirusak balatentara kera; Bersumpah mati di medan perang.
Walaupun Kumbakarna berwujud raksasa ia tetap ingin mencapai keutamaan. Ketika terjadi peperangan ia berkali-kali menasihati kakaknya demi keselamatan kerajaan Ngalengka, tetapi Dasamuka tidak pernah menggubrisnya. Akhirnya Kumbakarna memilih menyingkir, dan bertapa tidur. Ketika senapati-senapati Ngalengka sudah pada gugur, maka Kumbakarna dibangunkan paksa dan diperintah kakaknya untuk maju perang.
Menetapi watak ksatrianya, kumbakarna tidak membantah. Tekadnya hanya bela negara dan demi nenek moyangnya yang telah mukti di negara ngalengka dan sekarang akan dihancurkan wadyabala kera. Lebih baik mati di medan perang dan akhirnya Kumbakarna gugur sebagai pahlawan.
SURYAPUTRA (ADIPATI KARNA)
Wonten malih kinarya palupi; Suryaputra narpati Ngawangga; Lan Pandawa tur kadange; Len yayah tunggil ibu; Suwita mring Sri Kurupati; Aneng nagri Ngastina; Kinarya gul-agul; Manggala golonganing prang; Bratayuda ingadegken senopati; ngalaga ing Kurawa.
Den mungsuhken kadange pribadi; Aprang tanding lan Sang Dananjaya; Sri Karna suka manahe; Dene nggenira pikantuk; Marga denya arsa males sih; Ira Sang Duryudana; Marmanta kalangkung; Denya ngetok kasudiran; Aprang rame Karna mati jinemparing, Sumbaga wiratama.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ada lagi yang dapat dijadikan teladan; Suryaputra Senapati dari Ngawangga; Dengan Pandawa masih saudara; Lain bapak satu ibu; Mengabdi pada Sri Kurupati; Di Negara Ngastina; Dijadikan andalan; Panglima di dalam perang; Diangkat senapati dalam perang Bharatayuda; Berperang di pihak Kurawa.
Dihadapkan dengan saudaranya sendiri; Perang tanding melawan Dananjaya; Sri Karna senang sekali hatinya; Karena bisa memperoleh; Jalan untuk membalas budi; Sang Duryudana; Maka ia dengan sangat; Mengeluarkan semua kesaktiannya; Perang ramai dan Karna gugur kena panah; Termasyhur sebagai prajurit yang utama.
R. Suryaputra adalah Adipati di Ngawangga, dengan Pandawa masih saudara satu ibu lain bapak (Ayahnya adalah Batara Surya). Sejak lahir sampai dewasa tidak hidup bersama Pandawa, tetapi dipelihara kusir Adirata. Karena kesaktian dan kesetiaannya oleh Prabu Duryudana diberikan derajat yang tinggi. Menjelang perang Bharatayuda Karna dibujuk oleh ibunya untuk berperang dipihak Pandhawa.
Namun,Karna berkeras bahwa walaupun Pandhawa masih saudara dan berada di pihak yang benar, tetapi sebagai ksatria ia harus membela raja yang telah mengangkat derajatnya. Dalam perang tanding dengan Harjuna yang dalam pedhalangan Jawa menjadi satu lakon tersendiri “Karna Tanding” Karna mendapat kesempatan untuk membalas budi rajanya. Ia berjuang mati-matian dan akhirnya gugur di medan laga kena panah R Harjuna (Dananjaya)
Kesimpulan :
Katri mangka sudarsaneng Jawi; Pantes lamun sagung pra prawira; Amirata sakadare; Ing lelabuhanipun; Awya kongsi buang palupi; manawa tibeng nista; Ing estinipun; Senadyan tekading budya; Tan prabeda budi panduming dumadi; Marsudi ing kotaman.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Ketiga pahlawan tersebut adalah teladan orang Jawa; Sepantasnya semua perwira; Meneladani semampunya; Tentang dharmabhaktinya; Jangan sampai membuang keteladanan; Bisa menjadi hina; dalam cita-citanya; Walau itu tekad pada jaman dulu; Tidak berbeda budi para manusia; Mencari keutamaan.
Secara keseluruhan, Patih Suwanda dikenal dengan kautaman triprakaranya: “Guna, Kaya dan Purun”, kepandaian dan ketrampilan, kecukupan sebarangnya serta keberaniannya. Sedangkan Kumbakarna mengedepankan “Bela negara” mungkin ini yang kita kenal dengan “Right or wrong my country”. Adapun Adipati Karna dikagumi karena kesetiaan dan komitmennya: “Setya mring sedya”, berani mengorbankan segala-galanya demi mempertahankan loyalitas dan komitmen walaupun ia sadar sepenuhnya bahwa yang dia bela adalah pihak yang salah
WEWALER
Assalamu alaikum wr. wb.
Selamat malam, semoga kita semua selalu sehat. Amiin.
Dalam postingan kali ini, kita akan membahasa materi bahasa Jawa kelas XII SMA/MA/SMK tentang teks Eksposisi wewaler. Silakan perhatikan artikel di bawah ini!
Apa Iku Teks Eksposisi?
Teks utawa Wacana eksposisi yaiku sawijining teks sing isine menehi informasi lan njembarake pangertene wong sing maca. Teks eksposisi isine gagasan lan fakta.
Wacan Eksposisi yaiku salah sawijining wacana sing bisa mbudidaya ngandharake pokok pikiran sing tujuane njembarake wawasan utawa pangerten sing maca.
Teks ekposisi nduweni informasi lan pengetahuan sing nggambarake samubarang kanthi padet, singkat lan jelas. Teks eksposisi digunakake pangarang kanggo mbabar kawruh utawa ilmu, definisi, pangerten, cak-cakan sawijining kagiyatan.
Miturut KBBI, eksposisi yaiku gambaran sing tujuane mbabarake maksud an tujuan. Paragraf sajerone teks eksposisi yaiku ilmiah utawa non-fiksi.
Tujuan saka teks ekposisi iki yaiku kanggo menehi gambaran lan nambah pengetahuan wong sing maca. Kanthi maca teks eksposisi iki, wong sing maca bakal ketambahan ilmu kanthi rinci ngenani bab masalah sing disinaoni.
Struktur Teks Eksposisi
Struktur Teks eksposisi kaperang dadi 3, yaiku nduweni arti utawa teges
1. Pambuka (panemu)
Bagian pambuka iki isine panemu utawa pendapate panulis. Panemu iki bisa awujud gagasan utawa respon marang samubarang.
2. Surasa/ isi (bukti, alesan, argumen)
Argumen yaiku bagian teks eksposisi sing isine pendapat sing nguwatake panemu panulis.
3. Panutup (dudutan sing nguwatake argument adhedhasar bukti)
Bagian teks eksposisi isine yaiku penguatan utawa penegasan ulang panemune panulis.
Ciri-ciri wacan Eksposisi
§ Arupa wacan informasi.
§ Ana gambar, grafik, karo tabel sing magepokan karo isi wacan.
§ Wasananing wacan ana penjelasan.
Wacan eksposisi adate digunakake kanggo mbabar kaweruh utawa ilmu, definisi, pangerten, cak-cakan sawijining kegiatan, metode, cara, lan proses dumadi sawijining kakadeyan utawa bab.
§ Wacan sing nuduhake proses.
§ Wacan sing nuduhake tuladha.
§ Wacan sing nuduhake sebab akibat.
Gugon tuhon yaiku salah sawijining kepercayaan ngenani bab tinantu sing wis ana wiwit jama mbiyen. Gugon tuhon saka dumadi saka tembung gugu+an lan tuhu+an. Gugu nduweni teges percaya lan tuhu nduweni arti ditetepi, ora mblenjani.
Gugon tuhon dadi salah sawijining kapitayan sing sok ora tinemu ing nalar (tidak masuk akal). Kanggone wong sing percaya gugon tuhon, bakal ana rasa sumelang (khawatir) yen nglakoni utawa ninggal gugon tuhon iki.
Gugon Tuhon kagolongake dadi 3 yaiku pituru sinandhi, wewaler lan bocah sukerta.
A. Pitutur Sinandhi
Aja gawe sumur ing ngarepan omah nduweni arti utawa teges amarga bebayani bocah dolan
Aja kureb ajang nduweni arti utawa teges sawise madhang, aja banjur ajange dikurebake, bedik isahana dhisik
Aja lungguh bantal, mundhak wudunen nduweni arti utawa teges bantal iku mapane ana sirah, menawa dilungguhi ora prayoga
Aja mangan ndhodhok ing tengah lawang nduweni arti utawa teges lire wong mangan ndhodhok yen disawang saru, kajaba mangan ing tengah lawang bisa ngalang-ngalangiwong sing arep liwat.
Aja mangan ing paturon nduweni arti utawa teges amarga bisa ngregedi paturon, kejaba nalika lara.
Aja mangan karo ngadeg, mundhak wetenge dawa nduweni arti utawa teges amarga mangan karo ngadeg iku saru, becike karo lingguh sing apik
Aja mangan mlaku nduweni arti utawa teges amarga mangan karo mlaku ora becik tumrap kasarasan, tur murang tata.
Aja mangan panas nduweni arti utawa teges amarga mangan panganan sing panas bakal mbebayani tumrap kasarasan.
Aja mangan sangga ajang nduweni arti utawa teges amarga mangan sangga ajang gampang wutah, becike ajange dideleh ing meja
Aja ngaglah, lungguh ana ing lawang nduweni arti utawa teges amarga lungguh ana ing lawang ngalang-alangi wong singa arep liwat/mlebu-metu.
Aja nggelar kasur tanpa sepre nduweni arti utawa teges amarga yen reged angel anggone ngilangi
Aja ngadeg uwuh nduweni arti utawa teges amarga bisa ngregedi panggonan liyane yen kabur angina
Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene nduweni arti utawa teges menawa sumur kena idu bakal reged, apa maneh yen duwe lelara nular
Aja njangkar wong tuwa nduweni arti utawa teges ngundang wong tuwa sarana, nyebutake jenenge thok/ jangkar cetha mulang tata
Aja seneng ndhekok nduweni arti utawa teges amarga ndhekok/ turu wayah esuk, nyata ora becik esuk wayahe wong nyambut gawe
Aja uncal uwuh nduweni arti utawa teges amarga nguncalake uwuh bisa ngregedi liyane, becike buwangane ing kranjang uwuh.
Durung mantu wis gawe omah, ora ilok nduweni arti utawa teges wong durung mantu tegese enom, during akeh pengalamane
Kekudhung kukusan, ora ilok nduweni arti utawa teges kukusan iku kanggo adang, menawa dienggo kekudhungan bisa reged
Kandhang omah, ora ilok nduweni arti utawa teges menawa omah kanggo kandhang kejaba ora resiki, suker uga kurang prayoga menawa ana tamu
Nyapu bengi, ora ilok nduweni arti utawa teges kejaba ora resik, bleduge iso ngregedi peturon apa panganan
Ora ilok weweh njaluk bali, mundhak gulune gondhoken nduweni arti utawa teges weweh apa bae kudu sing iklas lair batin, aja ngarep-arep ganten diwewehi
Ora ilok wanita lungguh jegang nduweni arti utawa teges sanajan priya, dideleng ora prayoga, apa maneh wanita uga kurang tata.
B. Larangan utawa Wewaler
Aja lelungan ing dina Setu Pahing, kuwi dina geblage (sedane) simbah mundhak apes (nemu cilaka) nduweni arti utawa teges lire ing dina kuwi mesthine kanggo mengeti utawa ngrumat kepara malah ndedonga kanggo arwahe simbah, ora malah kanggo lelungan utawa seneng-seneng
Wong menyang segara kidul, ora kena nganggo sandangan ijo pupus nduweni arti utawa teges lire nalika semana ana wong Ngayogyakarta sing keseret ombak menengah, mbeneri sandhangane ijo pupus. Wusanane wong-wong sing padha plesir ing pesisir kidul ora wani nganggo sandhangan ijo pupus. Dene sing baku kudu tansah ngati-ati.
Tedhak turune panembahan Senapati, ora kena nitih jaran bathilan (jaran sing buntute dikethok) nduweni arti utawa teges para turunane panembahan senapati ora kena nunggang jaran bathilan/ jaran sing bunthute dikethok amarga bisa celaka.
Wong Kudus sing manggon sawetan kali ora kena bebesanan karo sing mapan sakulon kali nduweni arti utawa teges wong Kudus, sing omahe neng wetan kali ora kena bebesanan karo wong sing omahe neng kulon kali sebabe calon temanten ora kena nglumpati kali, ora ilok.
Wong Bagelan ora kena nganggo jarit gadhung mlati nduweni arti utawa teges Miturut kapercayan wong Jawa timur, wong bagelan ora kena nganggo jarit gadhung mlathi amarga miturut wong kono bisa maraake cilaka.
C. Bocah Sukerta
Bocah Sukerta yaiku bocah sing miturut kepercayaan wong jawa kudu diruwat utawa diselameti. Miturut kepercayaan wong Jawa mbiyen, bocah-bocah sing ora diruwat bakal dadi panganan Bathara Kala. Kanggo ngelak utawa nolak balak kasebut, mula diadani ruwatan kanthi nanggap wayangan lakon murwakala.
Ing ngisor iki, arane bocah-bocah sukerta kasebut.
Anak bungkus nduweni arti utawa teges bocah sing wektu lair isih kabungkus selaput bungkusan Bayi ( placenta ).
Anak kembar nduweni arti utawa teges anak loro, kembar lanang utawa kembar wadon utawa kembar dampit lanang lan wadon.
Anggana nduweni arti utawa teges anak akeh sing urip mung 1
Cukil Dulit nduweni arti utawa teges anak 3 lanang kabeh
Dhampit nduweni arti utawa teges bocah laire bareng lanang lan wadon
Gendhong nduweni arti utawa teges anak akeh, wadone ing tengah
Gilir Kacang nduweni arti utawa teges anak akeh, giliran lanang wadon
Gotong Mayit nduweni arti utawa teges anak 3 wadon kabeh
Grandel nduweni arti utawa teges anak lanang akeh, sing pungkasan wadon
Ipil-Ipil nduweni arti utawa teges anak 5 lanang 1
Jempina nduweni arti utawa teges bocah lair durung mangsane
Julung Caplok nduweni arti utawa teges bocah lair wayah surup ( srengenge anslup )
Julung Kembang nduweni arti utawa teges bocah lair wayah pletheke srengenge
Julung pujud nduweni arti utawa teges bocah sing lair pas wayah maghrib.
Julung Sungsang nduweni arti utawa teges bocah lair wayah bedhug ( tengah awan )
. Kalung Usus nduweni arti utawa teges bocah lair pusere nggubed gulu
Kedhana-Kedhini nduweni arti utawa teges anak 2 lanang wadon
Kembar nduweni arti utawa teges bocah laire bareng luwih saka 1, lanang/wadon.
Kembar Sepasang nduweni arti utawa teges anak 2 wadon kabeh
Konduran nduweni arti utawa teges bocah lair nanging ibune mati
Kresna nduweni arti utawa teges bocah sing dilairke duweni kulit ireng.
Lawang menga nduweni arti utawa teges bocah sing lair wektu “ Candhik Kala “ ( senja hari )
Mancalaputra utawa pendawa nduweni arti utawa teges anak lima lanang kabeh.
Mancalaputri nduweni arti utawa teges anak lima wadon kabeh.
Margana nduweni arti utawa teges bocah laire ing tengah dalan, sajrone lelungan
Ontang-anting nduweni arti utawa teges anak 1 lanang
Padangan nduweni arti utawa teges anak 5, 4 lanang lan 1 wadon
Panca Ganti nduweni arti utawa teges anak 5 wadon kabeh
Pancuran kapit sendhang nduweni arti utawa teges anak 3, wadong lanang wadon
Pathok nduweni arti utawa teges anak wadon akeh, sing tengah lanang
Pipilan nduweni arti utawa teges anak 5, 4 wadon lan 1 lanang
Saramba nduweni arti utawa teges anak 4 lanang kabeh
Sarimpi nduweni arti utawa teges anak 4 wadon kabeh
Sendhang kapit pancuran nduweni arti utawa teges anak 3, lanang wadon lanang
Unting-unting nduweni arti utawa teges anak 1 wadon
Wahana nduweni arti utawa teges bocah lair ing tengah pasamuan
Walika nduweni arti utawa teges bocah sing dilairke wujude bajang ( kendil )
Wujil nduweni arti utawa teges bocah sing dilairke awake cebol.
Demikian materi teks ekposisi wewaler Bahasa Jawa. Semoga bermanfaat.
Basa Jawa minangka salah sawijining basa dhaerah sing digunakake ing Indonesia. Sanadyan basa Indonesia wis dadi basa pengantar ing sekolah-sekolah, nanging siswa kudu mangerteni lan nguwasani basa Jawa kanthi bener.
sebagaimana disempurnakan oleh Aji Saka terdiri dari 20 aksara. Dikutip dari buku Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, terdapat arti kata yang menjadi hafalan sebagaimana tertulis dalam Layang Ha-na-ca-ra-ka, sebagai berikut:
ha na ca ra ka : ada utusan
da ta sa wa la : (mereka) saling tidak cocok
pa dha ja ya nya : sama-sama unggul
ma ga ba tha nga : sama-sama menjadi mayat
Jenis-jenis Aksara Jawa Lengkap
Dikutip dari buku Pepak Bahasa Jawa oleh Febyardini Dian dkk, berikut aksara Jawa lengkap dengan pasangan dan juga sandhangannya.
1. Aksara Jawa dan Pasangannya
Aksara Jawa terdiri dari 20 aksara. Untuk menekan vokal konsonan di depannya, dibutuhkan pasangan dari masing-masing aksara.
Aksara Jawa dan pasangannya. Foto: Buku Pepak Bahasa Jawa oleh Febyardini Dian dkk
2. Aksara Murda
Aksara Jawa jenis ini digunakan untuk menulis awal kalimat dan bisa digunakan untuk menulis gelar, kota, dan lembaga.
Aksara murda dan pasangannya. Foto: Buku Pepak Bahasa Jawa oleh Febyardini Dian dkk
3. Aksara Swara
Aksara swara merupakan huruf vokal yang terdiri dari A I U E O.
Aksara swara. Foto: Buku Pepak Bahasa Jawa oleh Febyardini Dian dkk
4. Aksara Wilangan
Aksara wilangan digunakan untuk menuliskan angka.
Aksara wilangan. Foto: Buku Pepak Bahasa Jawa oleh Febyardini Dian dkk
5. Sandhangan
Sandhangan merupakan simbol tambahan yang digunakan untuk menuliskan huruf vokal.
Sandhangan aksara Jawa. Foto: Buku Pepak Bahasa Jawa oleh Febyardini Dian dkk
Contoh Penggunaan Aksara Jawa
Untuk lebih jelasnya, berikut contoh penulisan aksara Jawa yang diberi pasangan dan sandhangan.
Foto: Buku Sinau Maca Aksara Jawa oleh Bejo
Baca artikel detikedu, "Aksara Jawa Lengkap dengan Pasangan dan Contoh Penulisannya" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5969606/aksara-jawa-lengkap-dengan-pasangan-dan-contoh-penulisannya.
Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/